TRIBUNNEWS.COM - Minggu (11/10/2020) adalah hari terakhir Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) ketat DKI Jakarta. Bagaimana sikap Anies selanjutnya?
Setelah diperpanjang satu kali, akankah PSBB ketat bakal diperpanjang kembali oleh Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan?
Teka teki diperpanjang atau tidaknya PSBB ketat DKI Jakarta ini di tengah sentilan dari Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang menyatakan tidak setuju dengan pembatasan sosial di skala provinsi.
Hingga berita ini ditulis, Anies belum memberi penjelasan apakah PSBB ketat DKI Jakarta akan diperpanjang atau tidak.
Untuk diketahui, PSBB ketat di DKI Jakarta diperpanjang sejak 27 September hingga 11 Oktober 2020.
Awalnya, PSBB ketat diterapkan di DKI Jakarta mulai 14 September hingga 27 September setelah sebelumnya dilonggarkan melalui PSBB transisi.
Baca: 25 Tempat Usaha Griya Pijat, Karaoke, dan Bar di DKI Jakarta Ditutup Karena Beroperasi Saat PSBB
Baca: Lagi-lagi Jokowi Singgung PSBB Ketat di Jakarta: Generalisir Satu Kota akan Merugikan Banyak Orang
Berikut sejumlah fakta terkait PSBB DKI Jakarta sebagaimana dirangkum Tribunnews.com, Sabtu (10/10/2020):
1. Jokowi Pilih Pembatasan Skala Mikro di RT/RW
Berulang kali Presiden Jokowi menyatakan ketidaksetujuannya terhadap pembatasan sosial skala provinsi, kabupaten atau kota.
Jokowi lebih memilih pembatasan aktivitas di wilayah kecil atau mikro, seperti RT/RW.
Hal itu diungkapkan Jokowi dalam beberapa kesempatan.
Pembatasan sosial di skala provinsi, kota atau kabupaten, kata Jokowi, akan mengorbankan kehidupan masyarakat.
"Untuk itu saya menekankan pentingnya pembatasan sosial skala mikro atau mini lockdown. Kita buat lebih terarah, spesifik, tajam untuk mengatasi masalah Covid-19 tapi tidak membunuh ekonomi dan kehidupan masyarakat," kata Jokowi dikutip dari Youtube Sekretariat Presiden, Minggu (4/10/2020).
Jokowi meminta penanganan Covid-19 tidak digeneralisir.
Baca: MUI Minta Presiden Jokowi Kendalikan Aparat saat Hadapi Massa Tolak UU Cipta Kerja
"Strategi pembatasan berskala lokal baik itu di tingkat RT, RW, desa atau kampung sehingga penanganannya lebih detail dan bisa lebih fokus, karena dalam sebuah provinsi misalnya ada 20 kabupaten/kota tidak semuanya berada pada posisi merah," ujarnya.
"Sehingga penangannya tentu saja jangan digeneralisir, di sebuah kota atau kabupaten pun sama, tidak semua kelurahan, desa, kecamatan, mengalami hal yang sama merah semua, ada hijau, kuning, itu perlu treatment atau perlakuan berbeda," kata Jokowi dalam Rapat terbatas terbatas 'Laporan Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional' Senin (14/9/2020).
2. Grafik Terkini
Selama dua pekan PSBB ketat, bagaimana grafik kasus Corona di DKI Jakarta?
Berdasarkan pantauan Tribunnews.com di laman corona.dkijakarta.go.id pada Sabtu (10/10/2020), grafik Corona menunjukkan naik turun.
Dalam dua pekan, kasus baru harian Corona sempat turun di angka 807 kasus dan sempat naik hingga 1.430 kasus.
Baca: PSBB Mulai Tunjukkan Hasil, Anies Baswedan Klaim Penurunan Kasus Corona DKI: Jakarta Belum Merdeka
Baca: DKI Jakarta Masih Menjadi Provinsi Tertinggi Temuan Covid-19
Berikut kasus harian Corona DKI Jakarta selama dua pekan:
Grafik kasus harian Corona di Jakarta. Diakses, Sabtu (10/10/2020). (corona.jakarta.go.id)
27 September : 1.186 kasus
28 September: 807 kasus
29 September: 1.132 kasus
30 September: 1.059 kasus
1 Oktober : 1.153 kasus
2 Oktober: 1.098 kasus
3 Oktober: 1.165 kasus
4 Oktober: 1.430 kasus
5 Oktober: 822 kasus
6 Oktober: 1.007 kasus
7 Oktober: 1.340 kasus
8 Oktober: 1.009 kasus
9 Oktober: 972 kasus
Sementara kasus kematian menunjukkan trend peningkatan meski sempat ada trend penurunan.
Berikut kasus kematian harian selama dua pekan:
27 September: 13 orang
28 September: 12 orang
29 September: 14 orang
30 September: 13 orang
1 Oktober : 6 orang
2 Oktober: 3 orang
3 Oktober: 3 orang
4 Oktober: 18 orang
5 Oktober: 11 orang
6 Oktober: 1 orang
7 Oktober: 13 orang
8 Oktober: 19 orang
9 Oktober: 22 orang
3. Pimpinan DPRD Sebut PSBB Sia-sia karena Ada Demonstrasi
Pimpinan DPRD DKI Jakarta menyoroti adanya sejumlah aksi unjuk rasa di Ibu Kota yang menentang persetujuan Omnibus Law oleh DPR RI pada Senin (5/10/2020) lalu.
Legislator memandang demonstrasi yang berkepanjangan membuat pembatasan sosial berskala besar (PSBB) yang dilakukan DKI menjadi sia-sia.
Pasalnya, berkerumun peserta unjuk rasa dapat memicu penularan sekaligus penyebaran virus corona atau Covid-19.
“Di tengah DKI sedang PSBB, Omnibus Law ketok palu. Saya yakin yang berwenang tahu dampak dari pengesahan ini, pasti demo. Akhirnya orang berkumpul lagi di Jakarta, sehingga timbul klaster baru," kata Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta Zita Anjani berdasarkan keterangan yang diterima pada Kamis (8/10/2020) sebagaimana dikutip dari Wartakotalive.
"Usaha rakyat menahan diri di rumah, sia-sia sudah," sesalnya.
Baca: Aksi Demo Berpotensi Sebarkan Covid-19, Epidemiolog Sebut Data Bisa Terlihat 7-14 Hari ke Depan
Baca: Lagu Wakil Rakyat Kerap Iringi Demo, Iwan Fals Bicara Soal UU Cipta Kerja: Serem, Pandeminya
Zita mengatakan, hingga Kamis (8/10/2020) tingkat persentase kasus Covid-19 di DKI Jakarta selama sepean berada di angka 12,2 persen.
Angka ini masih melampaui dari yang ditetapkan Organisasi Kesehatan Dunia atau World Health Organization (WHO) sebesar lima persen.
Selain itu, angka kasus baru positif di Jakarta hampir setiap hari berada di kisaran 1.000 orang.
Tingginya jumlah kasus Covid-19 karena DKI meningkatkan pengetesan dan tracing kepada masyarakat, terutama bagi pasien dan pernah yang kontak erat dengan orang terpapar Covid-19.
“Saya akui, memang Pemprov DKI yang paling sesuai dalam menerapkan instruksi test PCR dari WHO, selalu melebihi target yang ditetapkan. Tapi jika kasus penyebaran tidak menurun, maka harus menggunakan alternatif lain,” ujarnya dari Fraksi PAN ini.
“DKI paling banyak menerapkan beragam cara untuk berhentikan pandemi. Tapi hasilnya sama saja, sepertinya negara kita memang sudah saatnya perkuat imun warga,” tambahnya.
Zita juga merasa iba dengan kondisi rakyat sekarang karena tidak ada dukungan dari semua pihak.
“Lebih baik rakyat di biarkan bebas saja. Biarkan mereka mencari nafkah untuk perkuat imunnya sendiri, karena pemerintah tidak mampu, atau mungkin tidak mau untuk penuhi itu,” jelasnya.
(Tribunnews.com/Daryono) (WartaKotalive/Fitriyandi Al Fajri)