News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Cerita Para Pemulung Bertahan Hidup di Jakarta

Editor: Hasanudin Aco
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Suasana Kampung pemulung di Pondok Labu, Cilandak, Jakarta Selatan pada Senin (18/1/2021).

Laporan Wartawan TribunJakarta.com, Satrio Sarwo Trengginas

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Jakarta bukan hanya Jalan Sudirman-Thamrin yang terlihat megah dan bersih.

Jakarta kota yang luas.

Salah satunya kampung pemulung di Pondok Labu.

Di perkampungan ini, para pemulung masih berkutat dalam lubang kemiskinan.

Sejahtera tampaknya masih jauh diraih oleh mereka.

Penghasilan yang pas-pasan dari hasil memulung membuat mereka terkadang mengharap derma di pinggir jalan.

Suasana lalulintas ramai lancar pada jam-jam pulang kantor di Jalan Sudirman, Setiabudi, Jakarta Selatan, Selasa (29/9/2020). Direktorat Lalu Lintas Polda Metro Jaya mencatat jumlah kendaraan yang melintas di jalur protokol menurun 21 persen. Penurunan tersebut selama Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) Jakarta saat ini dibanding ketika PSBB transisi. Direktur Lalu Lintas Polda Metro Jaya Kombes Pol Sambodo Purnomo Yogo mengatakan, volume kendaraan menurun signifikan terjadi di ruas jalan berdekatan dan menuju pusat perkantoran. Salah satunya di Jalan Sudirman-MH Thamrin. WARTA KOTA/HENRY LOPULALAN (WARTA KOTA/WARTA KOTA/HENRY LOPULALAN)

Rosita (55), pemulung yang tinggal di Kampung Pemulung Pondok Labu, mengakui banyak teman-temannya yang tidak hanya memulung di jalan.

Mereka juga menunjukkan wajah memelas agar mengharap belas kasih para pengendara yang melintas.

"Ya, ada yang sengaja (minta-minta). Belum waktunya puasa, tapi mereka semua malah pada mangkal di pinggir jalan," ungkap perempuan asal Pemalang kepada TribunJakarta.com pada Senin (18/1/2021).

Rosita pun demikian. Ia terkadang sengaja duduk di minimarket agar diberikan uang.

"Kadang duduk istirahat di depan minimarket. Ada yang kasih "Nih, terima ya nek", lanjutnya.

Baca juga: Demi Berangkatkan Haji Seorang Pemulung, Syekh Ali Jaber Pernah Harus Berutang

Kemiskinan masih membelit hidup Rosita. Penghasilannya sebagai pemulung dinilainya pas-pasan. Apalagi di saat pandemi. Janda tiga anak ini harus berjuang selepas ditinggal meninggal suaminya.

Dalam sebulan, ia mengantongi uang Rp 300 ribu. Namun, dipotong untuk biaya kontrakan di bedeng reot Rp 150 ribu dan biaya hidup bersama anak bungsunya, Amel (14).

Kebutuhan hidupnya kadang diringankan oleh sejumlah donatur yang kerap memberikan bantuan sembako ke kampung pemulung.

Selain memulung, ia pun kerap kali mengharap bantuan uang di jalan raya.

"Sawerannya (bantuan) banyak dalam sehari dari orang-orang. Orang melihat kita kasihan, dikasih Rp 100 ribu," terangnya.

Sedangkan Hasnah (40) mengatakan pemulung yang membawa anaknya jauh lebih besar peluang untuk diberikan uang ketimbang memulung sendirian.

"Kalau di jalan pernah ada yang ngasih saya tapi jarang ketimbang pemulung yang bawa anak," tambahnya.

Roimah (37), pemulung lainnya kadang mengajak anaknya untuk turut memulung di jalan.

Menurutnya, saat ini tak bisa mengandalkan sampah di sekitaran kompleks perumahan.

Penghasilannya per bulan kadang hanya cukup untuk makan. Ia dan suami harus mencari pemasukan lain agar utangnya kepada pelapak bisa lunas.

"Kalau ngandelin di kompleks perumahan sekarang susah. Soalnya pembantu rumah tangga juga ikut ngumpulin. Saking susahnya, sampai saya bawa anak di jalan bantu suami biar cukup buat sehari-hari," ujarnya.

Gali lobang tutup lobang

Para perempuan di Kampung Pemulung Pondok Labu RT 011 RW 009 sehari-hari menyambung hidup dengan mengais sampah.

Menjadi pemulung merupakan cara mereka bertahan hidup meski pendapatannya dari hasil mengangkuti sampah yang teronggok di kota tak menentu.

Salah satu warga Kampung Pemulung, Hasnah (40) sudah akrab dengan sampah.

Pemandangan di depan rumahnya sehari-hari dipenuhi lautan sampah yang berjibun setiap hari.

Saat ditemui, Hasnah sedang merapikan hasil memulung di tengah bongkahan sampah.

Kedua tangannya sedang mengencangkan tali rafia yang diikat pada tumpukan kardus.

Janda anak tiga ini juga mengecek sampah yang tersimpan dalam karung goni miliknya.

Plastik dan kardus menjadi sumber pendapatan Hasnah di tengah kehidupan yang muram akibat pandemi Covid-19.

Selama pandemi, pendapatan warga RT 011 RW 009 Pondok Labu tersebut naik turun. Dalam sebulan, ia biasanya menimbang dua kali.

"Pendapatan rata-rata Rp 260 ribu sampai Rp 300 ribu sebulan. Paling gede segitu, kan saya keliling cuma pakai karung," ungkapnya saat ditemui TribunJakarta.com pada Senin (18/1/2021).

Hasnah belum lama ini menjadi seorang pemulung.

Dulu, perempuan beranak tiga ini tinggal mengontrak di kampung pemulung bersama suaminya.

Suaminya kala itu bekerja sebagai tukang sapu di Pasar Cipete, Cilandak, Jakarta Selatan sedangkan Hasnah menjadi ibu rumah tangga.

Namun, selepas suaminya tutup usia, Hasnah harus berjuang menghidupi diri sendiri serta anak bontotnya yang masih berusia 11 tahun.

Hasnah akhirnya memilih menjadi pemulung agar bisa menyambung nyawa keluarganya.

Ia memutuskan bekerja dengan Rubiyo (60), pengepul di Kampung Pemulung Pondok Labu. Hasnah pun dibebaskan biaya kontrak rumah. Ia dipinjami uang dari Rubiyo setiap hari untuk biaya makan.

Timbal baliknya, Hasnah berkewajiban menyetor sampah ke pelapak tersebut.

Hasil dari pungutan sampah yang dijualnya, ia ganti kepada Rubiyo.

"Dulu ngontrak sama Pak Rubiyo. Semenjak suami saya enggak ada, jadi ngikut mulung di tempat Pak Rubiyo. Biaya kontrakan digratiskan," ungkapnya.

Dalam sehari, Hasnah memulung sebanyak dua kali. Ia berangkat mulai pukul 05.30 WIB hingga pukul 07.30 WIB. Kemudian pukul 15.30 WIB sampai 17.00 WIB membelah permukiman dan jalan raya Ibu Kota.

Namun, Hasnah jarang menuai untung lebih dari hasil mengais sampah di jalanan.

Malahan, pemasukannya kadang terkuras untuk biaya makan, jajan dan listrik setiap bulan.

Ia pun tak ada pilihan selain berutang.

"Ini aja sudah minjem lagi ke pak Rubiyo," ungkap perempuan yang tinggal di bedeng reot berdinding triplek itu.

Warga kampung pemulung Pondok Labu lainnya, Yani (32) juga senasib dengan Hasnah.

Ia tampak duduk di depan balai pertemuan warga sambil menyuapi dengan nikmat semangkuk bakso yang dicampur nasi bersama anaknya.

Yani bersama suaminya sudah empat tahun meninggalkan Klaten, Jawa Tengah demi mengadu nasib menjadi pemulung.

Di kampung pemulung, Yani juga menjadi anak buah Rubiyo.

Ia kerap kali dipinjami uang untuk biaya makan oleh pelapak tersebut.

Namun, sistem semacam ini ibarat gali lobang tutup lobang.

Sebab, hasil memulung dalam sebulan saat pandemi terkadang tidak cukup untuk melunasi utangnya.

Yani bahkan kembali berutang untuk biaya hidup selanjutnya setelah baru melunasi utangnya kepada Rubiyo.

"Kemarin udah minjem uang Rp 500 ribu buat makan. Itu pun masih kurang buat makan. Kalau dapatnya Rp 520 ribu sekali nyetor, untung 20 ribu. Nanti minjem uang Rp 500 ribu lagi" ujarnya.

Artikel ini telah tayang di Tribunjakarta.com dengan judul Cerita Pemulung di Pondok Labu: Selain Mengais Sampah, Raup Untung dari Tangan Dermawan

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini