TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pengadilan Negeri Jakarta Selatan kembali menggelar sidang perkara penyebaran berita bohong dan membuat keonaran, dengan terdakwa pimpinan Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) Jumhur Hidayat.
Sidang digelar pada Kamis (4/2/2021), dengan agenda penyampaian jawaban Jaksa Penuntut Umum (JPU) atas eksepsi atau nota keberatan kubu Jumhur Hidayat.
Jaksa menjawab tudingan kubu Jumhur Hidayat yang menitikberatkan pada persoalan surat dakwaan yang tidak sah, penangkapan serta penahanan terhadap Jumhur cacat formil, dan dakwaan JPU dinilai tidak cermat.
Dalam jawabannya, jaksa menjelaskan bahwa penangkapan dan penahanan Jumhur Hidayat telah melewati penyidikan yang sesuai dengan ketentuan hukum. Proses pemeriksaan dan penahanan pun juga dinilai sesuai Kitab Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Bahkan selama proses tersebut, baik Jumhur maupun tim hukumnya tidak merasa keberatan.
"Selama penyidik melakukan kewenangannya tersebut tidak keberatan baik dari terdakwa maupun Penasehat Hukumnya," ucap jaksa membacakan surat jawaban.
Baca juga: Tim Hukum Jumhur Hidayat Ajukan Penangguhan Penahanan
Jaksa juga menolak dalil eksepsi Jumhur terkait dakwaan yang dianggap tidak cermat, jelas dan lengkap.
Jaksa menegaskan bahwa surat dakwaan yang mereka susun sudah berdasarkan hasil oenyidikan yang sah.
Atas uraian tersebut, jaksa meminta majelis hakim tidak menerima keberatan dari kubu Termohon.
"Dan kami mohon Majelis Hakim untuk tidak menerima dan mengesampingkannya," ucap jaksa.
Jumhur Hidayat Didakwa Sebar Berita Bohong dan Buat Onar di Medsos
Jaksa Penuntut Umum mendakwa Jumhur Hidayat menyebarkan berita bohong dan membuat keonaran lewat cuitan di akun Twitter pribadinya, terkait Undang - Undang Omnibus Law Cipta Kerja.
Jaksa menilai cuitan Jumhur ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras dan antargolongan (SARA), dalam hal ini golongan pengusaha dan buruh.
Akibat dari cuitannya itu, timbul polemik di tengah masyarakat terhadap produk hukum pemerintah. Sehingga berdampak pada terjadinya rangkaian aksi unjuk rasa yang dimulai pada 8 Oktober 2020, hingga berakhir rusuh.
"Salah satunya, muncul berbagai pro kontra terhadap Undang-undang Cipta Kerja tersebut sehingga muncul protes dari masyarakat melalui demo. Salah satunya, demo yang terjadi pada tanggal 8 Oktober 2020 di Jakarta yang berakhir dengan kerusuhan," imbuh jaksa.
Cuitan Jumhur yang dianggap menyalakan api penolakan masyarakat terhadap UU Cipta Kerja terjadi pada 25 Agustus 2020. Melalui akun Twitter @jumhurhidayat, ia mengunggah kalimat "Buruh bersatu tolak Omnibus Law yang akan jadikan Indonesia menjadi bangsa kuli dan terjajah".
Kemudian pada 7 Oktober 2020, Jumhur kembali mengunggah cuitan yang mirip - mirip berisi "UU ini memang utk PRIMITIVE INVESTOR dari RRC dan PENGUSAHA RAKUS. Kalau INVESTOR BEERADAB ya seperti di bawa ini".
Atas perbuatannya, Jumhur didakwa dengan dua dakwaan alternatif. Pertama, Pasal 14 ayat (1) jo Pasal 15 Undang-undang RI Nomor 1 Tahun 1946 KUHP, atau Pasal 45A ayat (2) jo pasal 28 ayat (2) Undang-undang RI nomor 19 Tahun 2016 tentang perubahan dari Undang - Undang RI nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE.