Bahkan, kata Yusri, calo tersebut mendapat keuntungan lebih besar dibandingkan ST dan ER.
"Ada pembagiannya. Rp 5 juta si korban membayar. Rp 3 juta untuk calo dan Rp 2 juta untuk yang melakukan tindakan," ujar dia.
Yusri memastikan pasutri ini membuka praktik aborsi ilegal di rumahnya, bukan klinik.
Ketiga tersangka memiliki peran masing-masing.
ST bertugas mempromosikan, ER berperan sebagai eksekutor.
Sedangkan RS adalah orang yang melakukan aborsi atau pasien.
Kepada polisi, ST dan ER mengaku sudah lima kali melakukan praktik aborsi ilegal di kediamannya.
Barang bukti yang berhasil diamankan di antaranya satu kantong plastik berisi jasad janin hasil aborsi.
Selain itu ada satu set alat vakum, tujuh botol air infus dan selang, serta, satu kotak obat perangsang aborsi.
Ketiga tersangka dijerat Pasal 194 Jo Pasal 75 ayat (2) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dengan ancaman hukuman maksimal 10 tahun penjara.
Tersangka ER Bukan Dokter
Yusri mengatakan tersangka ER bukan berprofesi sebagai dokter.
Tersangka ER hanya belajar melakukan aborsi dari tempat dia bekerja sebelumnya.
"ER ini sebagai pelaku yang melakukan tindakan aborsi. Dia tidak memiliki kompetensi sebagai tenaga kesehatan, apalagi jadi dokter," kata Yusri.
Berdasarkan hasil penyelidikan, ER pernah bekerja di klinik aborsi di kawasan Tanjung Priok pada tahun 2000.
Di tempat itu, ER bekerja selama empat tahun di bagian pembersihan jasad janin yang telah diaborsi.
"Dari situlah dia belajar untuk melakukan tindakan aborsi," ungkap Yusri.
Lanjut Yusri, ER hanya menerima permintaan aborsi dengan usia janin di bawah 2 bulan.
"Bagi dia usia (janin) di bawah delapan minggu itu mudah untuk dihilangkan atau dibuang buktinya karena masih berupa gumpalan darah," ujar dia.
Jika ER sebagai eksekutor praktik aborsi, suaminya ST bertugas untuk mempromosikan usaha istrinya.
Dari informasi kepolisian, ST memasarkan jasa aborsi ilegal itu melalui website dan WhatsApp.
"Bentuk pemasarannya itu melalui media sosial. Yang memasarkan itu suaminya, ST," kata Yusri.
Melalui website tersebut, pasien akan terhubung ke sebuah nomor Whatsapp untuk berkomunikasi.
Di nomor itu calon pasien dan eksekutor menyepakati harga aborsi.
"Korban janjian di salah satu tempat yang sudah disepakati dan deal dengan harganya."
"Korban atau si ibu yang akan aborsi ini dibawa ke tempat aborsi di kediamannya (tersangka)," terang Yusri.
Artikel ini telah tayang di Tribunjakarta.com dengan judul Lima Tahun Tinggal Bertetangga, Warga Tak Ada yang Tahu Aktivitas Pasutri Pelaku Aborsi di Bekasi