TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pengadilan Negeri Jakarta Selatan kembali menggelar sidang kasus penyebaran berita bohong dan membuat keonaran, dengan terdakwa pimpinan Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) Jumhur Hidayat, pada Senin (5/4/2021).
Sidang beragendakan mendengar keterangan saksi ahli digital forensik atas nama Muhammad Asep Saputra dari Direktorat Siber Mabes Polri yang diajukan Jaksa Penuntut Umum (JPU).
Dalam keterangannya, Asep menyampaikan tim digital forensik awal mula bekerja memeriksa cuitan Jumhur di Twitter dengan kata kunci pencarian UU Cipta Kerja, Omnibus Law berdasarkan resume yang diajukan penyidik.
Berdasarkan penelusuran tersebut, tim digital forensik mendapati adanya postingan Jumhur sebagaimana yang didakwakan JPU.
"Awal mula dilakukan penelusuran melalui keyword UU Cipta Kerja. Apakah ada postingan tentang cuitan terdakwa, pesan tersebut ada," kata Asep di persidangan.
Kemudian tim digital forensik melakukan ekstraksi data terhadap barang bukti sitaan penyidik menggunakan aplikasi Celebraite. Antara lain handphone, ipad, hard disk, komputer, laptop dan CD.
Tim digital forensik juga menggunakan perangkat keras maupun lunak dalam proses tersebut. Asep menegaskan proses analisis yang dilakukan tim digital forensik hanya dilakukan jika ada permintaan penyidik.
Baca juga: Jumhur Hidayat Jalani Sidang Perdana Tatap Muka Hari ini di PN Jakarta Selatan
"Analisa hanya bisa dilakukan berdasarkan permintaan penyidik," ungkapnya.
Jumhur Hidayat Didakwa Sebar Berita Bohong dan Buat Onar di Medsos
Jaksa Penuntut Umum mendakwa Jumhur Hidayat menyebarkan berita bohong dan membuat keonaran lewat cuitan di akun Twitter pribadinya, terkait Undang - Undang Omnibus Law Cipta Kerja.
Jaksa menilai cuitan Jumhur ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras dan antargolongan (SARA), dalam hal ini golongan pengusaha dan buruh.
Akibat dari cuitannya itu, timbul polemik di tengah masyarakat terhadap produk hukum pemerintah. Sehingga berdampak pada terjadinya rangkaian aksi unjuk rasa yang dimulai pada 8 Oktober 2020, hingga berakhir rusuh.
"Salah satunya, muncul berbagai pro kontra terhadap Undang-undang Cipta Kerja tersebut sehingga muncul protes dari masyarakat melalui demo. Salah satunya, demo yang terjadi pada tanggal 8 Oktober 2020 di Jakarta yang berakhir dengan kerusuhan," imbuh jaksa.
Cuitan Jumhur yang dianggap menyalakan api penolakan masyarakat terhadap UU Cipta Kerja terjadi pada 25 Agustus 2020. Melalui akun Twitter @jumhurhidayat, ia mengunggah kalimat "Buruh bersatu tolak Omnibus Law yang akan jadikan Indonesia menjadi bangsa kuli dan terjajah".
Kemudian pada 7 Oktober 2020, Jumhur kembali mengunggah cuitan yang mirip - mirip berisi "UU ini memang utk PRIMITIVE INVESTOR dari RRC dan PENGUSAHA RAKUS. Kalau INVESTOR BEERADAB ya seperti di bawa ini".
Atas perbuatannya, Jumhur didakwa dengan dua dakwaan alternatif. Pertama, Pasal 14 ayat (1) jo Pasal 15 Undang-undang RI Nomor 1 Tahun 1946 KUHP, atau Pasal 45A ayat (2) jo pasal 28 ayat (2) Undang-undang RI nomor 19 Tahun 2016 tentang perubahan dari Undang - Undang RI nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE.