Laporan Wartawan TribunJakarta.com, Dionisius Arya Bima Suci
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atas laporan keuangan Pemprov DKI Tahun 2020 menemukan adanya belanjar Rp 5,8 miliar untuk pengadaan masker respirator atau N95.
Adapun anggaran pembelian masker N95 itu berasal dari pos belanja tak terduga (BTT) dalam APBD DKI Tahun 2020.
Dalam laporan hasil pemeriksaan, Ketua BPK DKI Pamut Aryo Wibowo mengatakanan Pemprov DKI melakukan pembelian masker dari dua perusahaan berbeda, yaitu PT IDS dan PT ALK dengan harga berbeda.
"Permasalahan di atas mengakibatkan pemborosan keuangan daerah senilai Rp 5.850.000.000," tulis Pamut dikutip TribunJakarta.com, Kamis (5/8/2021).
Awalnya, Pemprov DKI melakukan pembelian masker jenis N95 dari PT IDS sebanyak tiga kali dengan total 89 ribu masker.
Baca juga: Kasus Mafia Tanah di Munjul, KPK Usut Pengelolaan Keuangan APBD DKI
Rinciannya, Pemprov DKI membeli 39 ribu pieces masker dari PT IDS dengan harga satuan Rp70 ribu pada 5 Agustus 2020 lalu.
Kemudian, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan melalui Dinas Kesehatan kembali membeli masker dari PT IDS pada 28 September 2020 sebanyak 30 ribu pieces dengan harga satuan Rp60 ribu.
Terakhir, Anies Cs melakukan transaksi pembelian 20 ribu pieces masker pada 6 Oktober dengan harga satuan Rp60 ribu.
Berselang sebulan kemudian, Pemprov DKI kembali membeli masker jenis N95 sebanyak 195 ribu pieces.
Namun, kali ini Pemprov DKI membelinya dari PT ALK dengan harga satuan Rp90 ribu.
Hal ini tertuang dalam berita acara pengadaan kontrak yang disahkan pada 30 November 2020.
Untuk itu, BPK menilai Anies Cs melakukan pemborosan lantaran membeli barang dengan jenis yang sama dari PT ALK yang memberikan harga lebih mahal dibandingkan perusahaan sebelumnya.
"Jika mengadakan barang yang berjenis dan kualitas sama, seharusnya melakukan negosiasi harga minimal dengan harga barang yang sama atas harga respirator (N95) lainnya yang memenuhi syarat atau bahkan lebih rendah dari pengadaan sebelumnya," tulis Pamut dalam laporannya itu.
Beli alat rapid test Rp 1,19 miliar
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) juga menemukan adanya pemborosan anggaran Rp1,19 miliar yang dilakukan jajaran Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan untuk pembelian alat rapid test Covid-19.
Anggaran itu diambil dari pos anggaran Belanja Tak Terduga (BTT) Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Tahun 2020.
Berdasarkan pemeriksaan atas dokumen pertanggungjawaban pembayaran diketahui Pemprov DKI Jakarta melakukan dua kali pengadaan rapid test Covid-19 dengan merk sama dalam waktu berdekatan.
Dalam dua kali kesempatan pengadaan itu, Pemprov DKI menggunakan penyedia jasa berbeda, yaitu PT NPN dan PT TKM.
Awalnya, Pemprov DKI melalui Dinas Kesehatan memesan 50 ribu pieces alat rapid test Covid-19 IgG/IgM Rapid Test Cassette (WB/S/P) dalam satu kemasan isi 25 cassette senilai Rp9,87 dari PT NPN.
Jenis kontrak yang dibuat merupakan kontrak harga satuan.
“Jangka waktu pelaksanaan kontrak adalah 19 hari kerja yang dimulai pada tanggal 19 Mei sampai dengan 8 Juni 2020,” tulis laporan BPK yang disahkan Kepala BPK DKI Pemut Aryo Wibowo, Kamis (5/8/2021).
Dalam pelaksanaannya, kontrak kerja dengan PT NPN ini sempat mengalami adendum dengan nomor 5.2/PPK-SKRT/DINKES/DKI/VI/2020.
Adendum diterbitkan pada 5 Juni 2020 lantaran adanya pergantian flight pengiriman dari bandara asal yang menyebabkan keterlambatan pengiriman barang.
Untuk itu, jangka waktu kontrak diubah menjadi 14 Juni 2021 dan pekerjaan dinyatakan selesai pada 12 Juni 21 dengan harga per unit barang senilai Rp197.500.
Hal ini tertuang dalam berita acara penyelesaian Nomor 12.4/BAST-SKRT/DINKES/DKI/VI/2020.
Di sisi lain, Dinas Kesehatan DKI Jakarta ternyata juga menjalani kerja sama dengan PT TKM untuk menyediakan 40 ribu pieces Rapid Test Covid-19 IgG/IgM Rapid Test Cassette (WB/SP) senilai Rp9,09 miliar.
Jenis kontraknya adalah kontrak harga satuan dengan harga per unit Rp227.272.
Jangka waktu kontrak cukup singkat, yaitu selama empat hari dari tanggal 2 Juni sampai 5 Juni 2021.
Dalam pelaksanaannya, pengadaan 40 ribu alat rapid test ini berjalan mulu dan dinyatakan selesai pada 5 Juni 2021.
Hal ini tertuang dalam berita acara penyelesaian nomor 4.4/BAST-SKRT/DINKES/DKI/VI/2020020.
Mencium adanya kejanggalan ini, BPK kemudian melakukan konfirmasi kepada PT NPN dan PT TKM.
Dari dokumen berita acara konfirmasi, PT NPN mengaku tak mengetahui soal pengadaan alat rapid test yang dilakukan Pemprov DKI di luar perusahaannya.
Sebab, PT NPN hanya ditawarkan melakukan pengadaan alat rapid test sebanyak 50 ribu pieces.
"Jika PT NPN ditawarkan pengadaan tersebut (40 ribu pieces lainnya), maka PT NPN akan bersedia dan sanggup untuk memenuhinya karena memang stok barang tersebut tersedia," demikian isi laporan BPK yang diterima TribunJakarta.com.
Kemudian, hasil penelusuran dari PT TKM menyebutkan bahwa perusahaan itu mendapat undangan dari Dinas Kesehatan untuk melakukan pengadaan sebanyak 40 ribu pieces alat rapid test.
PT TKM juga memberikan bukti kewajaran harga dengan menunjukan bukti transfer pembelian rapid test dari Biz PTE LTD Singapura seharga $14 USD per unitnya.
Adapun Biz PTE LTD Singapura merupakan perusahaan yang mendapat hak beli alat rapid test Covid-19 dari HCB Co. Ltd, China.
"Sehingga PT TKM memang terbukti membeli barang tersebut agak mahal, sehingga harga penawaran wajar," tulis BPK dalam laporannya itu.
Untuk itu, BPK menggarisbawahi agar Pemprov DKI memilih penyedia jasa yang mengadakan produk serupa dan stok tersedia dengan harga lebih murah.
"Bila disandingkan pengadaaan kedua penyedia tersebut maka terdapat pemborosan atas keuangan daerah senilai Rp1,19 miliar," tulis BPK. (*)