TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Jaksa Penuntut Umum (JPU) telah menjatuhkan tuntutan terhadap pentolan Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) Muhammad Jumhur Hidayat atas perkara berita bohong alias hoaks sehingga menimbulkan keonaran terkait Undang-Undang Omnibus-Law Cipta Kerja.
Dalam tuntutannya jaksa turut membeberkan hal-hal yang memberatkan dan meringankan.
Sebagai informasi Jumhur dituntut tiga tahun hukuman penjara dalam perkara ini.
Pembacaan tuntutan itu digelar di ruang sidang utama Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Kamis (23/9/2021).
Jaksa menyebut hal yang memberatkan pihaknya menjatuhkan tuntutan terhadap Jumhur karena adanya kerusuhan yang terjadi pada 8 Oktober 2020 lalu.
Kerusuhan tersebut kata diyakini Jaksa merupakan imbas cuitan Jumhur di akun Twitter resminya.
"Hal memberatkan, perbuatan terdakwa menimbulkan keresahan di dalam masyarakat, yang mengakibatkan kerusuhan pada tanggal 8 Oktober 2020," kata Jaksa dalam persidangan.
Baca juga: Dituntut 3 Tahun Penjara, Jumhur Bakal Sampaikan Pleidoi Pekan Depan
Tidak hanya itu, hal yang memberatkan jaksa menjatuhkan tuntutan ini lainnya karena Jumhur sama sekali tidak menyesali perbuatannya, serta pernah dijatuhi pidana penjara.
"Terdakwa tidak menyesali perbuatannya, terdakwa pernah dijatuhi pidana penjara," sambung JPU.
Sedangkan hal yang meringankan Jumhur dalam tuntutan tersebut adalah sikap sopan pimpinan KAMI itu selama persidangan berlangsung.
Dituntut 3 Tahun Penjara
Jaksa Penuntut Umum (JPU) telah membacakan tuntutan terhadap terdakwa penyebaran berita hoaks alias bohong sehingga membuat keonaran terkait Undang-Undang Omnibus-Law Cipta Kerja, Muhammad Jumhur Hidayat.
Agenda pembacaan sidang tuntutan itu digelar, Kamis (23/9/2021) siang ini di ruang sidang utama Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan.
Dalam tuntutannya jaksa menyatakan pimpinan Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) itu secara sah dan bersalah menyebarkan berita bohong sehingga membuat keonaran melalui postingan media sosial twitternya.
"Terdakwa secara sah melakukan tindak pidana dengan menyiarkan berita bohong sehingga menciptakan keonaran di kalangan masyarakat,"kata jaksa dalam tuntutannya di ruang sidang, Kamis (23/9/2021).
Adapun tuntutan itu sesuai dengan Pasal 14 ayat (1) KUHP sebagaimana dakwaan pertama primer.
Dengan begitu, Jaksa menuntut terdakwa Jumhur Hidayat dengan pidana penjara 3 tahun penjara dikurangi masa tahanannya.
"Menuntut supaya Majelis Hakim, menjatuhkan hukuman pidana kepada terdakwa Jumhur Hidayat selama 3 tahun dikurangi masa tahanan," tuntut Jaksa.
Jaksa juga menuntut agar terdakwa Jumhur Hidayat segera ditahan serta beberapa barang bukti diserahkan kembali kepada terdakwa.
Dakwaan Jaksa
Jaksa Penuntut Umum (JPU) mendakwa Jumhur Hidayat menyebarkan berita bohong dan membuat keonaran lewat cuitan di akun Twitter pribadinya, terkait Undang - Undang Omnibus Law Cipta Kerja.
Jaksa menilai cuitan Jumhur ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras dan antargolongan (SARA), dalam hal ini golongan pengusaha dan buruh.
Akibat dari cuitannya itu, timbul polemik di tengah masyarakat terhadap produk hukum pemerintah. Sehingga berdampak pada terjadinya rangkaian aksi unjuk rasa yang dimulai pada 8 Oktober 2020, hingga berakhir rusuh.
Melalui akun Twitter @jumhurhidayat, ia mengunggah kalimat "Buruh bersatu tolak Omnibus Law yang akan jadikan Indonesia menjadi bangsa kuli dan terjajah".
Kemudian pada 7 Oktober 2020, Jumhur kembali mengunggah cuitan yang mirip-mirip berisi "UU ini memang utk PRIMITIVE INVESTOR dari RRC dan PENGUSAHA RAKUS. Kalau INVESTOR BEERADAB ya seperti di bawa ini".