TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sikap pemerintah yang tetap ngotot menaikan Harga Jual Eceran (HJE) dan cukai rokok pada masa resesi ekonomi dan pendemic Covid -19 kembali disesalkan berbagai pihak.
Kenaikan cukai rokok sebesar 12,5 persen tidak akan menurunkan prevalensi masyarakat merokok, tapi justru menutup kesempatan kerja di industri rokok karena banyak pabrik rokok yang akan mengurangi tenaga kerja.
Sekaligus menyuburkan rokok illegal dan merugikan pemerintah sendiri.
“Konsumsi rokok saat ini faktanya memang meningkat akan tetapi hal tersebut juga didorong oleh makin maraknya peredaran rokok illegal. Hal tersebut diakibatkan oleh peralihan para perokok dari rokok ber-merk kepada rokok illegal & tingwe atau tembakau lintingan yang harganya jauh lebih ekonomis. Sementara rokok bermerek yang legal karena cukai rokok dan harga jual ecerannya dinaikan terus oleh pemerintah, menjadi semakin mahal,” papar Ketua Koalisi Tembakau, Bambang Elf kepada pers, Kamis (27/1/2022).
Lebih lanjut Bambang menjelaskan, pihaknya sudah mengusulkan kepada pemerintah untuk menurunkan cukai rokok karena yakin dengan turunnya cukai rokok akan mengurangi produksi rokok illegal.
Baca juga: Cermat Bertransaksi, Hindari Penipuan Mengatasnamakan Bea Cukai
Jika cukai rokok turun, rokok illegal juga akan turun, pemasukan negara dari cukai rokok justru akan meningkat.
Nyatanya pemerintah lebih memilih menaikan cukai rokok, yang berakibat menaikan jumlah rokok illegal di pasaran dalam negeri yang jelas jelas merugikan negara.
Bambang juga menyesalkan, kenaikan cukai rokok yang tinggi kembali dilakukan pada saat pendemic Covid -19 masih belum hilang.
Pendemi Covid-19 yang berimbas pada resesi ekonomi, menjadikan petani dan para pelaku industri hasil tembakau juga mengalami kesulitan ekonomi. Pemerintah pun mengalami kesulitan ekonomi karena dana dari APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara ) sebagian dihabiskan untuk penanganan Covid- 19.
“ Sektor ekonomi nasional kan sedang hancur hancurnya. Menurut saya kenaikan cukai tahun 2022 sebesar 12, 5 persen ini sangat eksesif. Di tahun 2020 ada kenaikan cukai yang sangat tinggi pada saat kita sedang dihantam pandemi Covid -19. Tahun 2021 kembali ada kenaikan cukai rokok yang sangat tinggi. Harusnya kenaikannya bisa ditekan, karena sampai saat ini proses recovery ekonomi karena pendemic covid -19 belum pulih,” tegas Bambang.
Lebih lanjut Bambang juga berpendapat, kenaikan cukai rokok ini berpotensi punya pengaruh negative terhadap sektor ketenaga kerjaanterutama di sektor industri hasil tembakau (IHT).
Namun karena keputusan kenaikan cukai sudah diambil pemerintah, pihaknya hanya bisa menuruti keputusan pemerintah.
“Dari sisi buruh atau ketenagakerjaan, kenaikan cukai rokok yang sangat besar ini berpotensi akan jadi masalah dengan kemungkinan pemutusan hubungan kerja atau PHK oleh pihak produsen IHT karena pengaruh berkurangnya volume penjualan. Tinggal kita melihat kedepannya, Apabila benar benar mengakibatkan pengurangan tenaga kerja atau PHK, maka tahun 2023 pemerintah harus memberikan kompensasi dengan tidak menaikkan cukai rokok, agar IHT tetap bertahan,” tegas Bambang.
Road Map
Bambang Elf berharap pemerintah mempunyai peta jalan atau road map yang jelas tentang industri rokok.
Sehingga bisa dipastikan setiap tahun berapa kenaikan cukai rokoknya. Sehingga bisa diantisipasi oleh masyarakat IHT.
Namun demikian, keduanya mengusulkan dalam rangka menyelamatkan dan mempertahankan industri rokok dan industri tembakau dan cengkih nasional, sebaiknya dalam road map, tidak mencantumkan kenaikn cukai rokok setiap tahun. Cukup dua tahun sekali.
“ Kami berharap di tahun 2022 rekan rekan di koalisi tembakau dapat mengawal agar para pelaku IHT tidak panik dengan kenaikan cukai rokok. kami berharap pemerintah dapat segera merealisasikan road map IHT yang pada proses perumusannya melibatkan semua stakeholder IHT yang berkepentingan didalamnya,” papar Bambang.