"Poin pentingnya, harus menghargai masyarakat dengan melakukan sosialisasi secara massif, agar tidak munculnya reaksi emosi negatif terhadap perubahan nama jalan tersebut. tidak adanya bentuk sosialisasi dampaknya saat ini banyak warga yang menolak jalan rumahnya diganti nama, seperti di Tanah Tinggi Jakpus yang diubah menjadi Jalan A Hamid Arief, mereka (warga-red) mengatakan bahwa nama tersebut bukan orang situ. Lalu juga ada penolakan di Kelurahan Batu Ampar, Kramat Jati, mereka menolak keras dengan membuat spanduk di lokasi. Artinya, masyarakat tidak mau nama jalannya diganti karena hanya akan membuat repot," ketus Kent.
Baca juga: Nasib 5.637 Warga DKI Jakarta Terdampak Perubahan 22 Nama Jalan
Seharusnya, kata Kent, di akhir masa jabatan 4 bulan sebagai Gubernur DKI Jakarta, Anies seharusnya lebih fokus dan merampungkan program yang sudah ada di RPJMD, bukan membuat program-program yang nyeleneh dan tidak bermanfaat untuk warga.
"Di akhir masa jabatan, saya meminta Pak Anies untuk merampungkan program prioritas yang terangkum dalam RPJMD saja, bukan malah membuat keputusan yang terkesan sangat politis. Keputusan perubahan nama jalan tersebut terkesan sangat politis, karena di eksekusi pada sisa 4 bulan masa jabatan yang sebentar lagi berakhir," tutur Kent.
Kata Kent, berdasarkan data Direktorat Jenderal (Ditjen) Kependudukan dan Catatan Sipil (Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), tercatat ada sekitar 50.000 warga DKI Jakarta yang harus memperbaharui kartu tanda penduduk elektronik atau e-KTP dan kartu keluarga (KK) imbas pergantian jalan tersebut.
"Sebanyak 50 ribu warga Jakarta yang di repotkan untuk memperbaharui data. Saya berharap di sisa waktu jabatan Gubernur, Pak Anies harus bertanggung jawab terhadap seluruh beban warga yang terdampak dalam perubahan nama jalan ini untuk merubah data yang bukan hanya persoalan KTP saja sampai selesai, jangan sampai ada yang tidak terlayani dengan baik. Terkadang apa yang sudah dijanjikan baik dari pihak Pemprov maupun Korlantas faktanya tidak semulus dalam pelaksanaanya di lapangan," tutur Kent.
Kepala Badan Penanggulangan Bencana (Baguna) DPD PDI Perjuangan Provinsi DKI Jakarta itu pun berharap, keputusan perubahan nama jalan ini tidak menjadi beban bagi Pejabat Gubernur nantinya karena di khawatirkan proses perbaikan dokumen, dan data warga tidak akan tuntas sampai akhir masa jabatan Anies.
"Jangan nantinya program perubahan nama jalan ini akan membebani Pj Gubernur kedepannya, karena dalam hitungan bulan Anies sudah tidak menjabat sebagai Gubernur DKI. Saya khawatir bahwa proses perbaikan data dan dokumen warga yang terdampak perubahan nama jalan ini tidak akan selesai dalam waktu dekat, dan Saya barharap Pak Anies dapat meninjau ulang kembali pergantian nama jalan untuk tahap kedua ini. Pak Anies harus bisa mengkaji lebih dalam, seperti sejarah di lokasi jalan, konteks tata kota atau kawasan yang memiliki sejarah, hingga identitas khusus," pungkasnya.
Hilangnya Sejarah dan Nilai Budaya
Pergantian nama jalan bukanlah sekedar perubahan nomenklatur, keruwetan mengurus ulang dokumen kependudukan, tapi juga ada sejarah dan budaya yang hilang.
Berbagai peristiwa terekam di daerah yang erat dengan sebuah nama. Belum lagi dengan sejarah di balik penunjukkan sebuah nama jalan.
Baca juga: Anies Baswedan Ungkap Alasan Ubah Nama Jalan di Jakarta, Berharap Tak Membebani Masyarakat
Ada juga pesan dan doa dari sebuah nama jalan.
Semua itu sirna kala diganti oleh nama yang baru.
Hal itulah yang disoroti Sejarawan JJ Rizal kala menanggapi kebijakan Gubernur DKI Jakarta yang mengganti 22 nam jalan di Jakarrta dengan nama 22 tojoh Betawi.
"Penggantian nama jalan itu juga dikuatirkan jika asal akan menimbukkan kerugian kehilangan sejarah dan nilai budaya. Sebab pada nama tempat, nama jalan juga tersimpan sejarah dan nilai budaya yang penting," kata JJ Rizal kepada TribunJakarta.com, Rabu (29/6/2022).