TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Warga rumah susun dan apartemen yang tinggal di Jakarta melakukan aksi unjuk rasa di depan gedung Balai Kota DKI Jakarta, Rabu (13/9/2023).
Mereka menuntut keadilan dan hak sebagai penghuni apartemen yang selama ini tidak diberikan oleh pemegang otoritas di masing-masing apartemen.
Serta meminta pembentukan Perhimpunan Pemilik dan Penghuni Satuan Rumah Susun (P3SRS) dilakukan secara transparan.
Baca juga: Komisi A DPRD DKI Terima Keluhan Penghuni Apartemen Bassura City soal Pembentukan P3SRS
"Kami juga menuntut hak-hak yang sampai saat ini belum didapatkan seperti AJB,SHMSRS, hingga unit yang belum diterima serta unit yang tidak sesuai dengan yang ditawarkan," ujar Wakil dari GPMP Fransisca Sofjan dalam keterangannya didampingi Jimmy Rukmini dari Menara Latumenten.
Pihaknya menginginkan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk memperhatikan dan turun tangan mengatur permasalahan dan keluhan hingga pemberian hak-hak warga apartemen sesuai dengan Peraturan Gubernur Nomor 132/2018 dan Peraturan Gubernur Nomor 70/ 2021 yang sampai saat ini realisasinya belum didapatkan warga.
Dikatakan bahwa banyak polemik serta permasalahan yang sudah bertahun-tahun belum terselesaikan bahkan belum ada titik terangnya hingga aksi unjuk rasa dilakukan.
Adapun beberapa permasalahan yang ada dan timbul diantaranya :
1. Dalam pembentukan P3SRS Panmus ( Panitia Musyawarah ) cacat hukum karena tidak sesuai dengan yang tertuang didalam Peraturan Gubernur ( Pergub No. 132/2018 ) Dimana ketua Panmus dan anggotanya tidak tinggal atau tidak ber KTP di Apartement / Hunian tersebut.
2 Tidak adanya transparansi dalam pelaksanaan pembentukan P3SRS mulai dari Verivikasi hingga pendataan baik Panmus hingga warga hunian yang tinggal, semua terindikasi adanya kecurangan hingga peran serta dari pengembang yang masih mau menancapkan keberadaanya di Apartement yang kami tinggal.
3. Adanya dugaan kuat peran dari Dinas Perumahan Rakyat Kawasan Permukiman ( DPRKP ) dengan memberikan Legitimate kepada kondidat yang cacat secara hukum karene tidak melalui proses yang transparan.
4. Banyaknya pemilik yang belum mendapatkan unit hunian padahal sudah lunas semua pembayarannya.
5. Belum adanya P3SRS yang dibentuk setelah hunian jadi hingga puluhan tahun.
6. Perlakuan yang tidak adil terhadap warga hingga intimidasi mengatasnamakan Perusahaan pengembang / pengelola hingga kriminilisasi kepada warga hunian.
7. Tidak bisanya DPRKP memegang kerahasiaan laporan keluhan warga.