TRIBUNNEWS.COM - Hingga kini, polisi masih terus menangani kasus satu keluarga yang lompat dari lantai 22 sebuah apartemen di Teluk Intan, Penjaringan, Jakarta Utara.
Namun, terdapat beberapa kendala yang dialami oleh pihak kepolisian.
Seperti kesulitan mengungkap penyebab atau motif keluarga tersebut melompat dari apartemen.
Pasalnya, disampaikan oleh Kapolres Jakarta Utara (Jakut) Kombes Gidion Arif Setyawan, tak ada jejak sama sekali mengenai kasus tersebut.
Padahal, kata Gidion, biasanya kasus mengakhiri hidup menyisakan jejak, sehingga bisa terungkap motifnya.
"Kasus yang kita tangani biasanya selalu meninggalkan jejak. Tapi, untuk kasus ini tidak ada sama sekali," ujar Gidion kepada wartawan di Polres Jakut, Senin (18/3/2024)
Selain itu, polisi juga tak menemukan catatan yang berisi pesan terakhir di tas milik keluarga tersebut.
Bahkan, di lokasi kejadian juga ditemukan ponsel keempat korban.
Namun, ponsel tersebut sudah rusak karena dibawa korban saat melompat dari apartemen.
Itulah sebabnya, polisi juga tak bisa mendapatkan data dari ponsel tersebut.
Fakta Baru
Gidion menyampaikan fakta baru lainnya yang terungkap mengenai kasus tersebut, yakni keluarga yang beranggotakan empat orang itu ternyata tertutup dari lingkungan keluarga hingga lingkungan sosial.
Baca juga: Kendala Polisi Mengungkap Tewasnya Satu Keluarga di Apartemen Penjaringan, Tak ada Jejak Digital
Hal tersebut diketahui dari pemeriksaan 12 saksi anggota keluarga hingga teman selama proses penyelidikan.
"Memang ada ada handycap-nya, ada ketertutupan atau bisa dikatakan introvet ya antara keluarga yang empat ini dengan keluarga besarnya."
"Tapi kita dapat informasi-informasi itu sifatnya sangat subjektif," kata Gidion.
Selain itu, Gidion juga menemukan pengakuan fakta, satu keluarga tersebut telah dua tahun tidak berkomunikasi dengan keluarga besar.
"Ini sudah nggak komunikasi ya ngga komunikasi lama sudah ada 2 tahun nggak komunikasi dengan keluarganya," jelasnya.
Satu keluarga tersebut, diketahui sempat pindah ke Solo, Jawa Tengah sebelum akhirnya tewas di apartemen tersebut.
Ditemukan fakta lainnya lagi, dua anaknya juga sudah tidak bersekolah sejak satu tahun lalu.
"Yang ada ada tracing lokasi ya dia ada di Solo tetapi tempatnya di mana kita juga nggak dapat informasi."
"Bahkan si anak kan sudah tidak terdaftar di apa terdaftar di sekolah dan juga sudah tidak melanjutkan. Satu tahun nggak sekolah. Dua-duanya," terang Gidion.
Sang Istri Sempat Sembahyang
Polisi juga menyebut, AIL (52), istri satu keluarga yang tewas melompat dari apartemen itu sempat sembahyang di rumah ibadah sebelum melakukan aksinya.
Hal ini diketahui berdasarkan kesaksian penjaga tempat ibadah yang terletak di rooftop apartemen tersebut bernama Akong.
"Sembahyang dilihat. Cuma (penjaga) nggak nyangka dia kalau selesai ibadah bakal loncat," kata Kasat Reskrim Polres Metro Jakarta Utara AKBP Hady Siagian kepada wartawan, Senin (18/3/2024).
Sementara itu, sang suami berinisial EA (51) serta dua anaknya JWA (13) dan JL (16) menunggu di taman sekitar tempat ibadah saat menunggu sang istri sembahyang.
"Duduk di kursi, itu. Pas tangga itu kan kursi coklat tuh, kanan taman kiri tempat ibadah kan. Bapak sama anaknya tunggu di situ.," bebernya.
Kemudian, sebelum sampai ke apartemen, satu keluarga tersebut juga meminta diantar sopir taksi online ke tempat makan.
Sopir taksi online yang menganter mengaku, tidak ada perilaku yang aneh dari EA dan keluarganya, karena bersikap seperti umumnya penumpang.
"Nggak ada bahasa yang menunjukkan dia kalo mau bunuh diri gitu. Bahasanya cuma antar saya ke sini, antar saya ke apartemen ini," jelasnya.
Masa Lalu Keluarga Lompat dari Apartemen
Tetangga korban, Arief (47), mengungkapkan bahwa satu keluarga itu sudah lebih dulu tinggal sebelum dia.
Sekitar tahun 2017, Arief mengenal mereka karena baru membeli unit apartemen tersebut.
Namun, dari pengakuan Arief, ia terakhir bertemu dengan keluarga ini tahun 2023.
Saat itu, katanya, mereka berniat pindah ke Surakarta, Jawa Tengah untuk memulai kehidupan yang baru dengan memulai bisnis.
Namun, Arief tak mengetahui secara detail bisnis apa yang dijalani korban.
"Katanya mereka mau memulai bisnis yang baru, tetapi saya tidak tahu bisnis apa yang ia kerjakan," kata Arief.
Menurutnya, satu keluarga itu pindah lantaran faktor tekanan ekonomi saat pandemi Covid-19 melanda.
Saat itu, kata Arief, EA (50) atau sang suami sempat terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) ketika pandemi.
PHK tersebut pun langsung berimbas pada kondisi ekonomi mereka.
"Yang saya tahu, ketika pandemi, suaminya terkena pemutusan hubungan kerja. Mulai dari sana, kehidupan keluarga ini terlihat sangat merana," lanjutnya.
Kondisi serba sulit keluarga itu terlihat ketika istri EA, AEL, menawari Arief beberapa kali telur ayam untuk mereka hidup.
Karena merasa prihatin, Arief sempat membantu memberikan sejumlah uang kepada keluarga mereka.
Terhitung, sudah sekitar tiga kali dia memberikan bantuan kepada AEL dengan total sekitar Rp 8 juta.
"Saya merasa iba dengan keluarga ini. Jadi, saya berharap uang yang saya beri itu bisa sedikit membantu," pungkasnya.
Disclaimer
Berita di atas tidak bertujuan menginspirasi siapapun melakukan tindakan serupa.
Bunuh diri bisa terjadi di saat seseorang mengalami depresi dan tak ada orang yang membantu.
Jika Anda memiliki permasalahan yang sama, jangan menyerah dan memutuskan mengakhiri hidup.
Anda tidak sendiri. Layanan konseling bisa menjadi pilihan Anda untuk meringankan keresahan yang ada.
Berbagai saluran telah tersedia bagi pembaca untuk menghindari tindakan itu.
Pembaca bisa menghubungi Hotline Kesehatan Jiwa Kemenkes (021-500-454) atau LSM Jangan Bunuh Diri (021 9696 9293) atau melalui email janganbunuhdiri@yahoo.com.
(Tribunnews.com/Rifqah/Abdi Ryanda) (Kompas.com)