TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA- S (55), seorang ayah sekaligus pemilik toko perabotan di Duren Sawit, Jakarta Timur, tewas di tanga dua putrinya yang masih remaja PA (16) dan KS (17).
Pelaku PA baru ketahuan belakangan turut mengabisi KS ditetapkan menjadi tersangka.
Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Ade Ary Syam Indradi mengatakan sama dengan sang kakak, PA juga beralasan sakit hati hingga membunuh ayah kandungnya sendiri.
Baca juga: VIDEO Bos Perabot Dibunuh Anak Kandung gara-gara Sering Dimarahi & Dicap Anak Haram
"Alasannya karena mereka sakit hati, sering dipukuli sama korban, sering tidak dikasih makan, kemudian disampaikan anak yang tidak berguna, waktu itu juga terungkap anak haram," kata Ade Ary kepada wartawan, Selasa (2/7/2024).
PA saat itu, berperan memukul kepala korban sebanyak dua kali menggunakan papan kayu cucian. Setelahnya, barulah KS menusuk korban dengan pisau dapur.
Lalu, setelah membunuh, keduanya pergi dari lokasi pembunuhan dan terekam kamera electronic traffic law enforcement (ETLE).
"Anak KS dan Anak PA telah dilakukan penahanan, namun saat ini sedang dibantarkan ke Rumah Sakit Polri Kramatjati untuk dilakukan observasi psikiatrikum," tuturnya.
Tanggapan Psikolog
Psikolog anak sekaligus Ketua Umum Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI),Seto Mulyadi ungkap jika ada beberapa faktor yang mendorong anak jadi pelaku tindak kekerasan.
"Penyebab utamanya bisa saya dari orangtua, yang mendidik dengan kekerasan. Bisa juga dari lingkungan pergaulan. Atau dari berbagai informasi yang diperoleh media sosial," ungkapnya pada Tribunnews, Minggu (30/6/2024).
Baca juga: Pedagang Perabot di Jaktim Tewas di Tangan Anak Gadisnya, Polisi : Pelaku Satu Orang
Di media sosial kadang kala kerap menunjukkan masalah bisa diselesaikan dengan kekerasan.
Informasi seperti ini dapat mendominasi anak-anak dan remaja untuk melakukan tindak kekerasan.
Untuk mengatasi hal ini, laki-laki yang akrab disapa kak Seto ini mengatakan perlu ada pembenahan dari sistim pendidikan di Indonesia.
"Pendidikan kita terlalu menekankan pada kemampuan logika. Yang dinilai itu akademik saja. Tetapi kecerdasan emosional, tidak dilatih dan dikembangkan dalam sistim pendidikan kita," kata kak Seto.
Seharusnya, selain nilai akademik, pendidikan di Indonesia perlu mengajarkan perilaku sopan dan santun.