Hadir pula dalam acara tersebut Kepala Biro Pengkajian Sekretariat Jenderal MPR RI Yana Indrawan.
Tiga akademisi narasumber diskusi bergantian menyampaikan buah pikirnya soal tema acara dan soal amandemen UUD 1945.
Narasumber pertama Lendy Siar mengatakan bahwa tidak tabu bagi lembaga MPR RI sebagai perencana pembangunan nasional.
Dalam perencanaan pembuatan rencana pembangunan atau haluan negara, Lendy memberi masukan harus ada koordinasi satu atap dalam segala bidang pembangunan nasional.
Seperti pembangunan nasional bidang hukum, maka harus ada koordinasi baik antara lembaga-lembaga bidang hukum yakni polisi, Jaksa, pengadilan.
Di sisi lain, narasumber Toar N Palilingan dalam paparannya menguraikan bahwà guliran wacana GBHN ini adalah guliran bola politik yang cukup berarti sebab banyak partai besar yang mendukung wacana tersebut.
Namun isu GBHN ini juga harus diwapadai memiliki implikasi politik yang tinggi juga, sebab itu lah sampai sekarang wacananya masih tarik ulur.
Toar sangat mendukung jika GBHN akan dihidupkan kembali, tapi yang memiliki kewenangan menetapkan adalah lembaga yang tidak terkait dengan penyelenggaraan negara.
Lembaga MPR dianggap lembaga yang pas untuk itu.
"Ini lah dilemanya yakni kedudukan dan status MPR yang tidak lagi sebagai lembaga tinggi negara dan MPR tidak lagi berwenang soal perumusan GBHN," katanya.
Narasumber kedua, Agustinus B Paty mengungkapkan bahwa dalam pembangunan nasional setelah ditiadakanya GBHN maka kesinambungan pembangunan nasional yang seharusnya terjaga menjadi hilang.
Rangkaian perencanaan tersebut seharusnya berlangsung terus tanpa henti dan terus berkesinambungan pelaksanaannya adalah pemenuhan kebutuhan masa sekarang tanpa mengurangi kebutuhan generasi masa datang.
Masukan dan gagasan seru datang dari para peserta, salah satunya dari akademisi Unsrat Prof Isaac yang mengungkapkan bahwa fungsi dan peran MPR kini kurang menggigit tidak seperti jaman orde baru, peran MPR sangat vital dan sangat menggigit.
Baru sekarang ini melalui wacana GBHN dan amandemen eksistensi lebih MPR kembali terangkat.
"Hal tersebut terjadi karena disebabkan traumatis kepada orde baru. Semua apa yang ada di orde baru jelek termasuk GBHN dan MPR sebagai lembaga tertinggi," katanya.
Menurut dia pola pikir tersebut harus dihilangkan.