Sementara itu Ferdinand Hutahaen menyebutkan kekisruhan kenaikan harga BBM jenis premium karena pemerintah tidak konsisten menjalankan kebijakan evaluasi harga BBM setiap tiga bulan. Ini diatur dalam Perpres 191.
“Persoalannya, pemerintah tidak konsisten menjalankan Perpres itu sehingga menjadi bermasalah,” ujarnya.
Nilai harga jual premium tidak ekonomis. Harga produksi sudah lebih tinggi dari harga jual. Harga ekonomi BBM jenis premium saat ini sekitar Rp 9.800. Sedangkan harga jual premium saat ini Rp 6.550.
“Ada selisih harga yang harus ditanggung Pertamina. Beban yang ditanggung Pertamina ini sesungguhnya adalah subsidi. Seharusnya yang ditanggung badan usaha ini tidak boleh. Sebab, subsidi harus dari APBN,” tegas Ferdinand.
“Kerugian Pertamina ini luar biasa, mencapai puluhan triliun setiap bulan. Saya prediksi kalau ini terus terjadi selama tiga bulan, Pertamina akan collaps, apalagi utang Pertamina mencapai Rp 150 triliun,” sambung Ferdinand.
Apakah fluktuasi harga BBM jenis premium ini melanggar konstitusi? “Kalau menurut saya ada yang tidak sesuai konstitusi. Karena beban subsidi yang seharusnya ditanggung pemerintah, menjadi beban badan usaha (Pertamina). Ini seharusnya tidak boleh,” tuturnya. (*)