Laporan Tribun Jogja
A Rozak, R Bagus, Galih P, Sigit W, Bramastyo Adhi
TRIBUNNEWS.COM, JOGJA – Kidung pandonga yang menjadi tembang penyemangat aksi unjuk rasa menuntut Keistimewaan Yogyakarta pada 1993 menggema saat pelaksanaan Tapa Bisu Satu Sura Mengelilingi Keraton Yogyakarta, Selasa (7/12/2010) malam.
Abdi dalem menyanyikan kidung ini sebelum ritual lampah budaya mubeng (kelilingi) beteng. "Kidung ini berisi doa abdi dalem Keraton Yogyakarta agar kepemimpinan DIY tetap dipegang Sultan Hamengku Buwono dan Paku Alam,” kata pencipta Kidung Pandonga, Projosuwasono (52) di Bangsal Ponconiti, Komplek Keraton Yogyakarta.
Guru macapat itu berujar, kalau para abdi dalem prihatin atas polemik keistimewaan DIY yang tidak kunjung tuntas sesuai dengan aspirasi masyarakat Yogyakarta.
Tembang pandonga itu pun menjadi penggugah semangat para abdi dalem untuk memperjuangkan keistimewaan DIY. Caranya, menetapakan Sultan Ngayogjokarto dan Paku Alam sebagai pasangan gubernur dan wakil gubernur DIY.
"Setiap kali demo masalah keistimewaan Yogyakarta saya menyanyikan kidung ini. Baik saat demo di Yogyakarta maupun di Jakarta,” kata pria berkumis yang menjadi abdi dalem sejak 1989.
Sebagai bentuk kepeduliannya terhadap nasib keistimewaan DIY, ia pun mengajarkan tembang itu kepada para murid macapatnya. “Saya pernah menyanyikan kidung ini di hadapan Sri Sultan Hamengku Buwono X, dan Ngarso Dalem tidak pernah menegur saya mengenai kidung itu,” tuturnya. (*)
Kidung Keistimewaan Warnai Ritual Malam Satu Sura
Editor: Iswidodo
AA
Text Sizes
Medium
Large
Larger