TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Politikus perempuan PDI-P, Eva Kusuma Sundari punya pandangan lain setiap memperingati Hari Ibu, yang jatuh pada hari ini, Kamis (22/12/2011). Hari Ibu, bagi Eva harus dimaknai sebagai hari antidiskriminasi bagi kaum perempuan.
"Bagi saya, menjadi perempuan bukan pilihan, tapi mau jadi perempuan yang bagaimana itu, merupakan keputusan politik. Ada perempuan yang memilih jadi bagian dari penyelesaian masalah perempuan, tapi ada yang memilih menjadi bagian dari persoalan," tuturnya.
Pilihan yang pertama itulah, lanjut Eva, yang menjadi latar belakang Kongres Perempyuan Indonesia 22-25 Desember 1928.
"Api itu masih relevan dan urgen, karena faktanya perempuan masih menjadi korban diskriminasi masyarakat dan negara, sehingga status perempuan masih memprihatinkan. Kesadaran politik dalam konteks kolonialisasi masih valid digunakan karena sistem yang ada saat ini masih diskriminatif dan memiskinkan perempuan," tuturnya.
Politik pembangunan yang tidak responsive terhadap perempuan, katanya lagi, menyebabkan matinya perekonomian pedesaan sehingga menggiring para perempuan menjadi TKW. Kebijakan reformasi salah arah, sehingga, kata Eva, kerap ibu-ibu menanggung resiko jadi korban perkosaan di angkot karena polsek-polsek tidak dikuatkan.
Keberadaan perda-perda syariah, ungkapnya lagi, juga telah memukul hak politik perempuan. Mulai dari regulasi soal dress code hingga larangan lembur kerja bagi buruh perempuan di Tangerang. Di kalangan masyarakat, fatwa, seakan merampok hak perempuan untuk duduk di posisi pimpinan dan strategis lainnya.
"Jadi, arti Hari Ibu adalah jangan hilang roh, api adalah melawan diskriminasi dan pemiskinan secara universal. Hari Ibu menjadi tonggak munculnya kesadaran dan aksi politik perempuan sebagai warga negara. Perempuan harus diingatkan untuk mengingatkan bahwa motivasi oppresive itu berganti aktor termasuk negara," demikian Eva Kusuma Sundari. (tribunnews/yat)