TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Belum terungkapnya sejumlah aksi penembakan di Papua disinyalir karena lemahnya koordinasi aparat, termasuk Badan Intelejen Negara (BIN), di wilayah tersebut.
Ketua Komisi I DPR, Mahfud Siddiq, memaparkan hasil kunjungan timnya di Papua, bahwa koordinasi kepolisian dengan jajaran TNI terbilang lemah.
Faktanya peningkatan eskalasi kekerasan berlangsung secara masif selama 2 bulan terkahir dan telah menewaskan paling sedikitnya 14 orang.
"Kelihatannya keraguan yang dialami jajaran kepolsiian harus diakhiri, koordinasi dengan jajaran TNI harus diperkuat. Sebab, karena hasil dialog Komisi I dengan berbagai elemen di Papua, tuntutan mereka hanya satu, yakni polisi mengungkap siapa otak di balik kekerasan itu," ujar Mahfud di DPR, Jakarta, Senin (11/6/2012).
Menurut Mahfud, jika otak pelaku teror di Papua lamban terungkap, maka dikhawatirkan masyarakat setempat semakin mencurigai aparat. Sebaliknya, aparat mencurigai kelompok bersenjata sebagai pelakunya.
"Karena ini lucu, kita bicara kepada masyarakat, kecurigaan mereka kepada aparat, tapi kalau kita bicara ke aparat, ini dilakukan oleh kelompok sipil bersenjata. Jadi, untuk menghindari salin curiga ini ya polisi mau tidak mau harus mengungkap siapa jaringannya, siapa pelakuny, dan harus diproses hukum," tuturnya.
Wakil Ketua Komisi I dari fraksi PDI Perjuangan, Tubagus Hasanudin, meminta pemerintah, khususnya polisi dan TNI, segera menangkap para pelaku sejumlah kasus kekerasan yang terjadi di bumi Papua. Dalam catatannya, telah ada 50 orang tewas akibat sejumlah peenembakan di beberapa tempat di Papua dalam dua minggu terakhir.
Senada dengan Mahfud Siddiq, Tubagus juga menyoroti lemahnya koordinasi aparat intelejen di Papua.
Ia menyarankan pemerintah pusat segera menugaskan orangnya guna mengkoordinasi kekuatan Polri, TNI, dan intelejen untuk menangani kasus kkekeerasan di Papua.
"Harus ada orang pemerintah pusat yang ditugaskan untuk melakukan upaya gabungan bersama TNI Polri, aparat intelejen, untuk bekerja bersama. Sekarang ini terkesan sendiri-sendiri. Laporan ke Jakarta hanya lapor aman terkendali, begitu saja. Padahal sudah menggelinding. Sehingga presidn meenganggap aman dan keputusan presiden tidak pas," ujar Tubagus.
Sementara itu, Kepala BIN, Marciano Norman, membantah anggotanya terlibat dalam sejumlah rentetan penembakan guna mengacaukan keamanan di bumi Papua. BIN justru menyimpulkan Organisasi Papua Merdeka (OPM) lah yang terlibat selama ini membuat Papua makin bergejolak.
Ia membantah penembakan gelap yang terjadi di Papua dan belum tertangkap pelakunya itu dikarenakan lemahnya koordinasi intelejen.
"Aparat intelijen itu kalau kita mau cari kekurangannya, pasti ada. Tapi, kalau sampai tidak punya konsep dan tidak terkoordinir dengan baik, itu tidak benar," tegas Marciano.
Buat BIN, kritik maupun penilaian buruknya koordinasi intelejen dari DPR akan menjadi masukan perbaikan kinerja aparat BIN. "Salah satu kekurangannya adalah masukan yang harus kita tingkatkan," ujarnya.
Marciano menyerahkan sepenuhnya kepada Menko Polhukam, Djoko Suyanto, jika pemerintah hendak membentuk pasukan gabungan khusus TNI/Polri untuk menangani kasus penembakan di Papua. "Saya rasa itu bukan kewenangan saya. Ini kewenangan menkopolhukum, tapi bisa jadi saran," tukas Marciano.