TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Terpidana kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) Sherny Kojongian yang dideportasi dari Amerika Serikat (AS), langsung dikirim ke Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Perempuan dan Pemuda Tangerang.
Setibanya di Bandara Soekarno-Hatta Tangerang, Sherny langsung dibawa ke Kejaksaan Agung (Kejagung). Hanya sekitar satu jam di Kejagung, Sherny langsung dibawa ke lapas menggunakan Toyota Innova.
"Narapida yang hukumannya lebih dari tujuh tahun, harus menjalani hukuman di luar Lapas Pondok Bambu. Ia akan ditempatkan di Lapas Perempuan dan Pemuda Tangerang," ujar Wakil Jaksa Agung Darmono di Kejagung, Jakarta Selatan, Rabu (13/6/2012).
Menurut Darmono, pihaknya saat ini hanya menjalankan apa yang sudah diputuskan pengadilan terhadap Sherny, dengan menjalankan hukuman selama 20 tahun penjara dan tidak ada lagi proses hukum.
"Kami menjalankan sesuai amar yang terdahulu," imbuh Darmono.
Sherny sebelumnya ditangkap di San Fransisco, AS. Ia kemudian dideportasi dan tiba di Indonesia pagi ini di Bandara Soekarno-Hatta.
Sherny kabur sebelum menerima putusan dengan sidang in-absentia. Saat itu, ia diputuskan bersalah dan harus menjalani hukuman 20 tahun penjara.
Ia dihukum bersama rekannya, Hendra Rahardja alias Tan Tjoe Hing yang dihukum seumur hidup, dan Eko Edi Putranto yang juga dihukum 20 tahun penjara oleh PN Jakarta Pusat.
Kasus bermula dari penyimpangan yang dilakukan mantan Komisaris Bank BHS Hendra Rahardja alias Tan Tjoe Hing. Hendra membawa lari uang nasabah setelah bank ini dilikuidasi pada 1 November 1997.
Kerugian yang ditimbulkan oleh mantan komisaris ini sebesar 50 juta dolar AS-200 juta dolar AS. Selain Hendra Rahardja, ada nama Sherny Kojongian dan Eko Edi Putranto.
Kedua nama ini juga terpidana kasus korupsi Bank BHS. Keduanya juga melarikan diri ke Australia.
Eko Edi Putranto adalah anak Hendra Rahardja yang menjadi Direktur Bank BHS. Sherny Kojongian adalah Komisaris Bank BHS selaku direktur kredit, pada 1992-1996.
Eko memberikan persetujuan kredit kepada 28 lembaga pembiayaan yang ternyata fiktif. Kredit tersebut dilanjutkan oleh lembaga pembiayaan kepada perusahaan grup, melalui penerbitan giro tanpa proses administrasi kredit yang tercatat.
Selanjutnya, beban pembayaran lembaga pembiayaan kepada BHS dihilangkan dan dialihkan kepada perusahaan grup.
Dalam kasus Bank Harapan Sentosa, yang terjadi adalah kesalahan manusia, di mana Hendra Rahardja, Eko Edi Putranto, dan Sherny Kojongian melakukan korupsi dari dana likuiditas yang diperoleh dari Bank Indonesia.
Dana tersebut seharusnya menjadi hak dari nasabah ketika bank ini dilikuidasi, namun ternyata diselewengkan oleh petinggi-petinggi bank ini. (*)
BACA JUGA