TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Tim Penasehat Hukum Angelina Sondakh berharap majelis hakim tindak pidana korupsi (Tipikor) dapat meresapi kisah seorang sahabat Rasulullah, Ali bin Abi Thalib dalam memutuskan perkara kliennya.
Hal itu diharapkan oleh Angelina bilamana majelis memutuskan sidang akan terus dilanjutkan hingga akhir.
Kisah yang dimaksud adalah kisah peradilan pidana dalam pencurian baju perang Saidina Ali bin Abi Thalib yang dilakukan oleh seorang pemuda Yahudi.
Dalam sebuah kisah yang dituangkan pada eksepsi Angie, diceritakan bahwa saat itu Ali kehilangan baju perang dan ditemukan seorang pemuda Yahudi. Kemudian pemuda tersebut diadili dengan tuduhan mencuri baju Ali.
Namun, karena Ali tidak memiliki bukti cukup, meski majelis hakim menyakini kesaksian Ali benar, akhirnya pemuda yahudi tersebut dibebaskan oleh majelis hakim. Ali sendiri mengakui hakim telah menegakkan hukum dengan baik.
"Saat itu hakim terjebak 'kebenaran materiil' atau 'kebenaran formil' yang harus ditegakkan? Apakah hati nurani atau sistem hukum yang harus ditegakkan agar adanya kepastian hukum dalam penegakkan hukum?. Akhirnya demi menegakkan hukum secara benar, mempertahankan sistem peradilan, dan hukum pembuktian secara baik, hakim memutuskan untuk membebaskan pemuda Yahudi tersebut," papar Nasrullah menceritakan, di hadapan majelis hakim di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (13/9/2012).
Begitu pula dengan perkara Angelina Sondakh. Nasrullah menilai dakwaan jaksa terhadap Angie, tidak cermat, tidak jelas dan tidak lengkap, sehingga kabur (obscuur libel).
Sebelumnya, Jaksa KPK mendakwa Angelina menerima pemberian atau janji dari Grup Permai berupa uang yang nilai totalnya Rp 12 miliar dan 2.350.000 dollar AS atau sekitar Rp 22 miliar.
Uang itu kata jaksa, merupakan imbalan atas jasa Angelina menggiring anggaran proyek di Kementerian Pendidikan Nasional serta Kementerian Pemuda dan Olahraga. Pemberian uang tersebut dilakukan antara Maret 2010 hingga November 2010. Saat itu, Angelina menjadi anggota Badan Anggaran DPR sekaligus Koordinator Kelompok Kerja (Pokja) Komisi X.
Dalam eksepsinya, Nasrullah mengatakan Angelina selaku koordinator Pokja Komisi X saat itu tidak memiliki kewenangan untuk mengatur penganggaran proyek sendirian.
"Pada prakteknya, koordinator kelompok kerja lebih banyak jadi juru bicara untuk menyampaikan hasil rapat Komisi X," kata Nasrullah.
Padahal, menurut Nasrullah, semua penganggaran proyek pemerintah, dibahas bersama-sama pemerintah dengan DPR sehingga tidak ada ruang bagi pribadi atau individu.
Selain itu, tim pengacara Angelina menilai konstruksi pasal yang didakwakan kepada kliennya itu tidak cermat dan menyesatkan.
Dalam surat dakwaannya, jaksa KPK menjerat Angelina dengan pasal Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang disusun secara alternatif.