Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ferdinand Waskita
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Partai Persatuan Pembangunan menilai ada usaha sistemik ingin menyingkirkan Abraham Samad dari posisi sebagai Ketua KPK dengan isu sprindik Anas Urbaningrum bocor.
"Saya menangkap kasus ini ingin diarahkan dengan pelengseran Abraham Samad," kata Wakil Ketua Fraksi PPP Ahmad Yani di Jakarta, Selasa (26/3/2013).
Menurut Yani, hal tersebut merupakan langkah yang dilakukan untuk menyetop kasus-kasus besar yang Abraham Samad ingin bongkar. Ia mencontohkan dalam kasus Century, Abraham Samad begitu progressif dan menegaskan telah menemukan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) terkait penyalahgunaan wewenang dalam FPJP dan penetapan Bank Century sebagai bank gagal dan sistemik.
"Tidak hanya itu, Abraham juga telah menyampaikan penetapan dua tersangka yaitu Budi Mulya dan Siti Chalimah Fadjriah," kata anggota Timwas Century itu.
Namun, kata Yani, sekarang kasus Century justru diarahkan hanya pada persoalan pengawasan, bukan penyalahgunaan wewenang.
"Karena kalau penyalahgunaan wewenang berimplikasi pada tanggung jawab yang sifatnya kolektif kolegial yang melibatkan Dewan Gubernur BI dan KSSK," kata anggota Komisi III itu.
Selain itu Abraham Samad, menurut Yani, juga berkomitmen dalam penanganan kasus korupsi lainnya seperti Hambalang, Wisma Atlet, kasus Migas, Sumber Daya Alam (SDA) dan perpajakan.
"Memang tampak betul, progresifitas dan keberanian Abraham Samad dibanding pimpinan lainnya yang terlalu hati-hati atau justru punya motif lain untuk memperlambat, sehingga dikesankan Abraham Samad tidak koordinasi dengan komisioner yang lain," ungkapnya.
Indikasi lainnya, kata Yani, Abraham juga pernah didemo oleh para penyidik di internal KPK termasuk desakan LSM yang meminta agar persoalan Sprindik dikriminalisasi.
Ia berpendapat Sprindik adalah masalah teknis administrasi penyidikan yang semestinya tidak dibesar-besarkan. Ia menyebutkan adanya pertemuan KPK jilid II yakni Chandra M Hamzah, Bibit Samad Riyanto, Johan Budi dan Ade Rahardja dengan Nazaruddin, namun Komite Etik justru tidak memberi sanksi apapun. Padahal sebelumnya, nama-nama tersebut membantah meski belakangan mengakui pertemuan tersebut.
"Ironinya, kini keterangan Nazaruddin menjadi rujukan utama oleh KPK seperti dalam kasus wisma atlet dan Hambalang," ujarnya.