TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pembahasan RUU Pilpres hingga kini masih alot dibahas Badan Legislasi (Baleg) DPR. Sejumlah fraksi tidak ingin RUU itu dibahas. Fraksi tersebut antara lain Golkar dan Demokrat.
Namun, Fraksi PPP meminta pembahasan revisi UU Pemilu Presiden tetap dilanjutkan dan diselesaikan. Menurut anggota Baleg asal PPP Ahmad Yani, pembahasan itu sangat penting terkait dengan tuntutan masyarakat atas munculnya figur alternatif dalam Pilpres 2014 mendatang yang sangat luar biasa.
"UU Pilpres saat ini menutup peluang calon nonpartai. Oleh karenanya, ruang akan munculnya tokoh-tokoh baru sudah tertutup sama sekali. Ini berbeda dengan pilkada yang memberi ruang bagi calon non partai," kata Yani di Jakarta, Sabtu (30/3/2013).
Yani mengungkapkan aturan Presidential Threshold sebesar 20 persen yang diatur dalam UU No 42 Tahun 2008 tidak sesuai dengan aspek sosiologis. "Aturan ini sama sekali tidak mencerminkan denyut nadi aspirasi masyarakat. UU tersebut tidak mampu dan tidak mau menjawab aspirasi yang berkembang," kata Yani.
Selain itu, ujarnya, aturan presidential threshold bertentangan dengan konstitusi, UU tidak boleh bertentangan dengan norma di atasnya.
"Presidential Threshold merupakan norma baru. Aturan itu bukan turunan dari Pasal 6A (ayat) 2 UUD NRI 1945 yang menyebutkan capres/cawapres diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik," ungkapnya.
Untuk itu, PPP tetap berpandangan Presidential Threshold (PT) sebesar 0 persen. Sehingga, semua partai politik peserta Pemilu berhak mengajukan pasangan capres atau cawapres.
"Jika pun dipaksa tetap ada PT, PPP berpandangan yang berhak mengajukan capres/cawapres bagi mereka yang lolos parliamentary threshold sebesar 3,5 persen," tuturnya.