TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Adanya Rancangan Undang-Undang (RUU) Santet sebagai jawaban terhadap kegelisahan masyarakat atas ketidakmampuan aparat keamanan untuk menindaklanjuti laporan-laporan tindak pidana yang berbasis santet, mistik.
"RUU ini dimaksudkan untuk melindungi setiap warga negara, yang didasarkan terhadap terjadinya tindakan anarkisme yang diduga sebagai pelaku santet. RUU ini sudah dimulai pengusulannya sejak 40 tahun silam," kata Dirjen Peraturan Perundang-Undangan Kementerian Hukum dan HAM RI Wahiduddin Adam dalam dialog Santet dan RUU KUHP yang digelar oleh Fraksi Gerindra bersama Permadi dan ahli hukum pidana, Roni Nitibaskara, di Gedung DPR RI Jakarta, Selasa, (2/4/2013).
Menurutnya, RUU ini ada landasan filosofisnya, yang dianut adalah kepentingan individu, korban dan masyarakat umum. Juga ada alur historisnya.
"Di mana kita prihatin dengan aparat hukum yang tidak mampu menindaklanjuti laporan masyarakat tersebut. Karena RUU santet ini sebagai sesuatu yang positif. Apalagi RUU ini sudah 40 tahun berjalan dan sekarang baru sampai di DPR RI,” katanya.
Penyusunan RUU Santet tersebut diharapkan melibatkan berbagai pihak yang benar-benar mengerti soal santet itu sendiri. Sebab, tanpa melibatkan pelaku santet, hampir bisa dipastikan undang-undang yang dihasilkan nantinya tidak akan efektif, apalagi memuaskan kepentingan masyarakat luas. Sementara santet ini sudah ada sejak zaman jahiliah.
Roni Nitibaskara berpendapat di masyarakat sangat banyak kasus penganiayaan maupun pengeroyokan yang didasarkan pada tuduhan melakukan santet. Bahkan tidak sedikit terjadi isu melakukan santet dijadikan alat untuk melakukan pembusukan karakter terhadap seseorang.
“Faktanya banyak orang yang dikeroyok lantaran dituduh santet. Santet adalah tingkah laku yang tidak disukai oleh masyarakat,” kata Roni.