TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Wakil Ketua MPR RI Melani Leimena Suharli menegaskan bahwa dirinya tidak setuju kalau bangsa Indonesia tidak toleransi. Ia mencontohkan banyak hal dalam masalah toleransi, seperti saat Musabaqoh Tilawatil Quran (MTQ) dilaksanakan di Ambon, Maluku, ada sekitar 2500 pendeta menyediakan rumahnya untuk tempat tinggal peserta MTQ.
Demikian dikemukakan Melani Suharli saat menjadi pembicara bersama Romo Benny Susetyo dan anggota MPR dari Kelompok DPD, Bambang Soeroso dalam Dialog Pilar Kenegaraan bertajuk “Merajut Kembali Kebhinnekaan” di Kompleks Gedung Parlemen, Jakarta, Senin (15/4/2013).
Melani mengatakan, pendidikan multikulturisme untuk menciptakan toleransi dan saling menghormati antar suku, agama, ras, dan antargolongan, perlu didukung namun ia mendorong agar pendidikan masalah ini di tingkat keluarga lebih diutamakan terutama pada masa anak-anak usia dini.
Ia menceritakan pengalaman di keluarganya. Meski orangtuanya, J. Leimena, mempunyai anak dengan beragam keyakinan namun keluarganya selalu hidup rukun. “Ini bisa terjadi sebab orangtuanya mengajarkan agar kita tidak mementingkan diri sendiri dan tidak bersikap kaku di tengah masyarakat,” katanya.
Dalam kesempatan sama rohaniawan Romo Benny Susetyo mengatakan bahwa proses membangun karakter bangsa belum selesai. Ketika pembangunan karakter tidak selesai-selesai maka yang terjadi adalah masing-masing kelompok lebih mendahulukan identitas suku, agama, ras, dan antargolongan.
“Saat ini kita kehilangan pemimpin yang berjiwa kenegarawanan. Pendiri bangsa adalah pemimpin yang tidak mementingkan suku, agama, ras, dan antargolongan,” tegasnya.
Konflik dan kekerasan dengan pengatasnamaan suku, ras, agama, dan antargolongan selalu terjadi menurutnya karena kita tidak pernah memutus kekerasan. Mengapa kekerasan tidak pernah putus, “Karena tidak ada ketegasan hukum,” paparnya.
Persoalan-persoalan di atas tidak selesai-selesai bagi Romo Benny karena kita tak menegakkan konstitusi. Sosialisasi 4 Pilar menurutnya bagus namun disayangkan nilai-nilai itu tidak dijadikan roh dalam mengambil keputusan.
Untuk itu ia menyarankan dan menegaskan bahwa hukum harus menjadi panglima, pemerintah harus tegas dan mempunyai wibawa, adanya pendidikan multikulturisme, dan pendidikan nilai-nilai Pancasila. Diakui selama ini Pancasila hanya disosialisasikan namun tidak dihayati.
Sementara anggota MPR dari Kelompok DPD, Bambang Soeroso menuturkan dirinya ingat filosofi Jawa yang berbunyi toto tentrem kertoraharjo. Filosofi ini menyatakan bila ingin tentram maka harus mampu merajut ke-guyub-an.
“Ke-guyub-an dari keanekaragaman. Dirinya pun ingat sesuatu yang diperjuangkan Gus Dur, yakni pluralisme. Pluralisme adalah modal dalam bernegara,” ujarnya.