TRIBUNNEWS.COM,JAKARTA--Kuasa hukum mantan Kabareskrim Komjen Pol Susno Duadji profesor Yusril Ihza Mahendra mengungkapkan, ada perbedaan pendapat mengenai eksekusi putusan batal demi hukum, termasuk putusan terhadap kilennya.
Yusril mengaku menghormati perbedaan pendapat tersebut. "Saya juga tidak memaksakan pihak lain agar menerima pendapat saya. Mana yang benar dan yang salah. Saya serahkan kepada sejarah. Kewenangan mengeksekusi putusan pengadilan adalah kewenangan jaksa," ujar Yusril dalam rilisnya kepada Tribun (27/4/2013).
Yusril menegaskan, jika jaksa tetap ingin mengeksekusi putusan seperti itu, ia menyatakan kembali menyerahkan kepada sejarah utk menilai. Apakah, keputusan itu benar atau tidak
"Jangan ada kesalahpahaman seolah-olah saya menghalang-halangi eksekusi. Kewajiban saya hanya mengingatkan. Didengar atau tidak, bukan masalah. Saya berdoa semoga Allah SWT menunjuki bangsa ini ke jalan yang lurus, jalan yang benar," pungkas Yusril.
Seperti dikutip dari Kompas.com dijelaskan, perdebatan soal sah atau tidaknya eksekusi yang dilakukan kejaksaan bermula dari penolakan Susno. Susno dan kuasa hukumnya menilai putusan kasasi MA tidak mencantumkan perintah penahanan. Susno berdalih eksekusi tak bisa dilakukan.
Tidak dicantumkannya perintah penahanan, dalam pandangan Susno, membuat putusan itu batal demi hukum. Kubu Susno mengacu pada ketentuan Pasal 197 ayat (2) KUHAP yang menyatakan bahwa putusan batal demi hukum jika tidak memuat ketentuan Pasal 197 ayat (1) KUHAP.
Adapun Pasal 197 ayat (1) huruf k menyatakan bahwa surat pemidanaan di antaranya harus memuat perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan.
Pasal tersebut pernah diajukan uji materi oleh Parlin Riduansyah dengan Yusril sebagai kuasa hukumnya. Pemohon meminta agar mendalilkan bahwa Pasal 197 ayat (1) huruf k juncto Pasal 197 ayat (2) sepanjang frasa "batal demi hukum" dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1), dan 28G ayat (1) UUD 1945 karena memuat rumusan yang menimbulkan ketidakpastian hukum.
Uji materi ini ditolak oleh Mahkamah Konstitusi melalui putusan yang dibacakan pada 22 November 2012. Dalam pendapatnya, MK menyatakan bahwa penafsiran tidak dimuatnya ketentuan Pasal 197 ayat (1) huruf k dalam surat pemidanaan akan mengakibatkan putusan batal demi hukum justru bertentangan dengan UUD 1945.
MK juga menyatakan, Pasal 197 ayat (2) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat bila diartikan surat putusan pemidanaan yang tidak memuat ketentuan Pasal 197 ayat (1) huruf k mengakibatkan putusan batal demi hukum.
Selain itu, MK memutuskan perubahan bunyi Pasal 197 ayat (2) dengan menghapus bagian huruf k sehingga bunyinya menjadi, "Tidak dipenuhinya ketentuan dalam ayat (1) huruf a, b, c, d, e, f, h, j, dan l pasal ini mengakibatkan putusan batal demi hukum".