TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ahli Hukum Tata Negara, Irman Putra Sidin, mengatakan disain politik jangan sampai merugikan hak konstitusional perempuan khususnya dalam Undang-Undang Pemilu.
Hal tersebut disampaikan Irman saat memberikan kesaksian di MK selaku saksi ahli. Irman mengatakan UU Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilu DPR, DPD, DPRD, yang memuat frasa dengan mempertimbangkan keterwakilan perempuan (Pasal 25) menandakan disain politik hukum UU adalah bagian dari disain yang mengakomodasi tindakan afirmasi atau penegasan terhadap perempuan.
"Artinya ketika desain afirmasi tersebut kemudian diakui secara konstitusional, maka tentunya perumusan norma akan afirmasi itu jangan sampai menimbulkan norma yang sifatnya aksesoris semantik yang bisa bermakna kepura-puraan atau hanya seolah-olah," ujarnya.
Dikatakannya, desain politik hukum tindakan afirmasi perempuan jangan sampai pula merugikan atau menimbulkan ketidakpastian karena hal itu akan menimbulkan pertarungan maskulinitas melawan feminitas.
Secara konstitusional, suara terbanyak adalah penentu calon terpilih bagi calon anggota legislatif terpilih.
"Jadi syarat suara terbanyak adalah sesungguhnya batas syarat terpilihnya pasangan calon yang akan diakui keterpilihannya secara konstitusional," katanya.
Hal tersebut menegaskan logika persebaran perolehan suara dalam kerangka afirmasi dan gerakan politik hukum afirmasi terhadap perempuan, bisa dijadikan legal policy yang setara.
Artinya, jika terdapat lebih dari satu calon yang memperoleh suara terbanyak dan jika semuanya berjenis kelamin sama, maka yang dipakai adalah ketentuan persebaran perolehan suara.
Namun, jika ternyata berjenis kelamin yang berbeda dari perolehan suara terbanyak itu, maka perempuan memiliki hak untuk didahulukan.
"Dengan ketentuan seperti itu, maka norma ini senafas dengan politik afirmasi," kata dia.
Sebelumnya, sejumlah LSM perempuan, seperti Pusat Pemberdayaan Perempuan Dalam Politik, Koalisi Perempuan Indonesia untuk Keadilan dan Demokrasi, Lembaga Partisipasi Perempuan, dan lainnya, mengajukan gugatan uji materi Pasal 8 ayat 2 huruf e, Pasal 55, Penjelasan Pasal 56 ayat 2, dan Pasal 215 huruf b Undang-Undang Nomor 8 tahun 2012 tentang Anggota DPR, DPD, dan DPRD (UU Pemilu Legislatif) ke Mahkamah Konstitusi (MK).