TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Bentrok antara warga dengan ormas FPI di Kendal merupakan tindakan kekerasan yang sekian kali terjadi di Indonesia. Sikap kekerasan tersebut terus berulang.
Toni Ervianto, pemerhati masalah politik dan persoalan strategis, menilai bagaimanapun juga tindakan main hakim sendiri tidak dibenarkan dalam negara hukum dan negara harus menang lawan ormas tersebut.
“Yang pasti, masyarakat muak dengan aksi premanisme dan teror. Itu bukan budaya yang anggun, namun merefleksikan kedangkalan aqidah, kesempitan pemahaman, dampak kurang bergaul dan merasa menang sendiri,” katanya dalam pernyataan yang diterima Tribunnews, Selasa (23/7/2013).
Menurut Toni, memang ada ajaran agama yang menyebutkan, “selemah-lemah iman adalah dengan diam atau berdoa dan sekuat-kuat iman bertindak dengan memakai tangan”, namun melawan kemungkaran dapat dilakukan melalui tangan harus diterjemahkan, melalui tangan tersebut kita bekerjasama memberantas kemungkaran, atau arti tangan di kalangan policy maker atau pembuat kebijakan adalah memerangi kemungkaran melalui pembuatan kebijakan yang pro rakyat, pro nilai agama dan pro kepentingan nasional.
“Sekali lagi, suasana harus didinginkan agar pesta Ramadan tidak diwarnai dengan aksi-aksi premanisme apalagi konflik komunal bahkan konflik SARA. Jadikanlah momentum Ramadan ini untuk memperkuat solidaritas kebangsaan kita dan melemahkan segregrasi sosial yang selama ini masih menganga,” ujar Magister Intelijen UI ini.
Pengamat Masalah Ormas, A Fajar Kurniawan berpendapat bahwa masyarakat sudah tidak simpatik terhadap aksi anarkis yang mengatasnamakan agama sekalipun mungkin itu tujuannya positif.
Hal serupa juga dilontarkan Pemerhati Masalah Ormas, Bagus Nuril. Ia menilai kasus Kendal harus dituntaskan secara UU hukum pidana dan tidak dapat memakai UU Ormas.
“Kalau anggota FPI yang salah harus dihukum. Kalau organisasinya kan tidak salah, yang salah orangnya,” tambahnya.