TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kebijakan PT Kereta Api Indonesia (KAI) yang membangun tembok pemisah dengan warga menyisakan cerita pilu.
Warga yang membuka warung kini kesulitan mengais rejeki karena interaksi dengan penumpang kereta otomatis hilang dengan tembok pembatas setinggi lebih dua meter itu.
Seorang pemilik warung yang enggan disebutkan namanya sebenarnya tidak keberatan dengan pembangunan tembok tersebut. Hanya saja, PT KAI jangan memutus total interaksi namun membuatkan satu pintu kecil agar warung mereka bisa diakses penumpang.
"Silahkan di pagar. Kami hanya butuh pintu masuk bagi penumpang kereta supaya bisa makan di tempat kami," ujar pemilik warung Arema, kepada Tribunnews, Jakarta, Sabtu (10/8/2013).
Alhasil, pascapembangunan tembok mirip Tembok Berlin itu omzet warung nasi Arema pun turun drastis. Sebelumnya, warung tersebut beromzet Rp 10 juta per bulan.
"Biasanya bisa kirim uang minimal Rp 2 juta per dua minggu untuk Ibu saya. Tapi sekarang, buat kirim sejuta saja sudah susah banget mas. Habis kirim uang ke Ibu, saya pusing lagi mikir duit buat belanja," keluhnya.
Warga sebenarnya paham bahwa tanah tersebut merupakan tanah PT KAI. Oleh karena itu, ibu asal Malang tersebut memohon supaya PT KAI membangun pintu agar penumpang bisa membeli dagangan mereka. Tidak harus persis di depan warung mereka.
"Kami tidak ingin hal itu terjadi pada kami. Kami tahu kalau itu tanah mereka, tapi tolong jangan menyusahkan kami untuk berusaha," katanya.
Semangat PT KAI untuk mensterilkan stasiun dari kegiatan jual beli di stasiun memang bertolak belakang dengan kondisi nyata. Sebab, di dalam stasiun tersebut, PT KAI menyediakan tempat kapada Indomaret, Dunkin Donuts, dan Alfamart.
Sekedar informasi, tanah yang digunakan pemilik warung tersebut merupakan milik Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.