TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA- Pegiat Pemilu dari Lingkar Madani Untuk Indonesia (LIMA) menyesalkan pernyataan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar yang menyebutkan agar Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) tidak mudah menjatuhkan sanksi pemecatan kepada KPU daerah.
Direktur LIMA Ray Rangkuti menilai pernyataan Akil Mochtar tersebut merupakan anjuran yang dapat memundurkan pencapaian penegakan integritas penyelenggara Pemilu.
"Pernyataan itu seperti memberi kembali peluang bagi penyelenggara pemilu terus untuk melanggar kode etik karena sekalipun kelak diadukan ke DKPP ada kemungkinan hanya mendapat sanksi tertulis. Sanksi yang faktanya tak ampuh untuk membuat penyelenggara pemilu lebih berpihak pada Pemilu jurdil," ujar Ray, Jakarta, Minggu (11/8/2013).
Pernyataan Akil tersebut seolah menyiratkn bahwa berbagai pelanggaran kode etik bahkan ancaman pelaksanaan Pemilu atau Pilkada yang tidak jurdil tidak lebih penting dari pelaksanaan itu sendiri.
Artinya, lebih baik menyelamatkan anggota KPUD yang melanggar dan membuat Pemilu atau Pilkada jadi cacat dari pada memberhentikan mereka karena ancaman Pemilu atau Pilkada yang macet.
"Cara berpikir seperti inilah selama ini yang membuat banyak anggota Penyelenggara pemilu tidak peduli pada asas pelaksanaan Pemilu atau Pilkada yang jurdil, bersih dan partisipasif," tegas Ray.
Berbagai pelanggaran dilakukan anggota KPU umumnya karena tidak bersikap independen, tidak jujur dan adil dalam mengelola tahapan Pemilu atau Pilkada.
Penyakit ini hampir merata di seluruh Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari jumlah pengaduan pelanggaran penyelenggara pemilu ke DKPP yang mencapai 200 kasus.
Sementara, kata Ray, hampir 80% hasil Pilkada disengketakan ke MK. Data ini menunjukan luasnya praktik perusakan Pemilu atau Pilkada yang dilakukan justru oleh penyelenggaranya sendiri.
Ray menilai ancaman bagi Pemilu demokratis tidak berasal dari peserta pemilu atau masyarakat tapi dari dalam, dari penyelenggara pemilu. Menurut dia, situasi buruk pengelolaan Pemilu yang demokratis sebenarnya telah mulai dirasakan sejak Pemilu 2004.
Kemudian berlanjut pada Pemilu 2009 sampai pada pilkada tahun 2013. Untungnya, dengan berbagai macam praktik antipemilu demokratis itu mulai terungkap dan terbukti di sidang-sidang DKPP.
"Dengan begitu, sejatinya kita harus terus mendorong DKPP membersihkan penyelenggara Pemilu atau Pemilukada yang melanggar kode etik guna menyelematkan Pemilu yang demokratis di masa depan," tukasnya.