TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Indonesia Corruption Watch (KICW) meminta pemerintah dan DPR segera merumuskan dan mengesahkan UU migas yang baru. Hal itu dilakukan untuk memberikan kejelasan terkait pengelolaan migas.
"SKK Migas ini sifatnya Ad hoc. Waktu itu MK mengembalikan ke pemerintah agar tidak terjadi kekosongan selama penyusunan aturan dalam UU yang baru," ujar Firdaus Ilyas, Koordinator dan Monitoring Analisis Anggaran ICW, Selasa (20/8/2013).
Firdaus menuturkan, UU yang baru tersebut harus bisa mencakup pengaturan yang jelas dari hulu ke hilir dan bisa merepresentasikan sebagai sebagai sebuah unit usaha. Selain itu perlu diatur isu transparansi, akuntabilitas, serta isu pelibatan publik.
Firdaus menuturkan, pengelolaan industri migas Indonesia nantinya harus sampai pada level pengusahaan dan tidak hanya level administratur atau pengawasan. Sebab migas adalah industri strategis yang diamanatkan konstitusi untuk dimanfaatkan demi hajat hidup orang banyak, sehingga dampak dan juga potensinya harus sebesar-besarnya untuk kepentingan negara.
"Memang agak normatif jika ditafsirkan. Tapi secara umum misalnya, kelembagaan migas yang baru harus mengakomodir tiga prinsip mendasar dalam industri migas," katanya.
Pertama pengelolaan kepemilikan, kemudian pengelolaan administraturnya, kemudian pengelolaan bisnisnya.
Tujuannya apa karena ada kebutuhan energi, penerimaan negara, termasuk juga soal ketahanan energi, bahwa menjadi tuan rumah dalam artian kalau bisa kelola sendiri bisa kita awasi.
Ia mencontohkan dalam kasus PLN yang tidak mendapat pasokan yang cukup karena BP Migas telah melakukan kontrak jangka panjang dengan investor asing.
"Kalau gitu kenapa kita tidak kelola sendiri? BP migas berdasarkan UU 22/2001 kewenangan dan karakterisitiknya tidak sampai pada bentuk pengusahaan. Maka pola industri migas kita tidak hanya sampai pengawasan tetapi sampai level pengusahaan," katanya.