TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menyatakan kebijakan diskriminatif terhadap perempuan yang digulirkan oleh aparat legislatif maupun eksekutif terus bertambah. Kebijakan diskriminatif tersebut mulai bertambah sejak 1999 ketika otonomi daerah mulai bergulir.
"Kebijakan diskriminatif tersebut atas nama agama dan moralitas," kata Kunthi Tridewiyanti, Ketua Sub Komisi Reformasi Hukum dan Kebijakan Komnas Perempuan, di Kantornya, Kamis (22/8/2013).
Kunthi membeberkan, sampai 18 Agustus 2013 pihaknya mencatat 342 kebijakan diskriminatif. Menurutnya, ini berarti jumlah kebijakan diskriminatif bertambag 60 kebijakan dibanding tahun lalu. Jumlah tersebut dua kali lipat lebih banyak sejak Komnas Perempuan menyampaikan persoalan itu di tingkat nasional pada 2009.
"Pada saat itu jumlah kebijakan diskriminatif baru 154 kebijakan," ujarnya.
Lebih lanjut Kunthi mengatakan, sebanyak 265 dari 342 ebijakan diskriminatif secara langsung menyasar perempuan atas nama agama dan moralitas. Dari 265 kebijakan tersebut 79 diantaranya yang mengatur cara berpakaian beerdasarkan interpretasi tunggal ajaran agama penduduk masyoritas.
"Situasi ini membatasi hak kemerdekaan berekspresi dan hak kemerdekaan beragama," tuturnya.
Selain itu, kata Kunthi, ada 124 kebijakan tentang prostitusi dan pornografi, 27 kebijakan tentang pemisahan ruang publik laki-laki dan perempuan atas alasan moralitas, 19 diantaranya menggunakan istilah khalwat atau mesum.
"35 kebijakan lainnya terkait pembatasan jam keluar malam yang pengaturannya mengurangi hak perempuan bermobilitas, pilihan pekerjaan serta perlindungan dan kepastian hukum," katanya.