TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Bermula dari publikasi hasil survei yang dilakukan Saiful Mujani Reseach and Consulting (SMRC) mengenai pilihan reponden terhadap partai politik. Dalam survei tersebut Partai Demokrat berada di peringat ketiga (8,3 persen), di bawah Partai Golkar (21,3 persen) dan PDI Perjuangan (18,2 persen).
Telunjuk mengarah kepada faktor Anas Urbaningrum terkait anjloknya elektabilitas Partai Demokrat. Namun Anas justru melihat adanya kejanggalan dan meragukan kredibilitas hasil survei lembaga riset politik yang dipimpin Saiful Mujani tersebut.
"Selepas SBY membuat pernyataan dari Madinah, Syarif Hasan dan Jero Wacik membuat pernyataan serupa dan tegas meminta Anas Urbaningrum mundur, " tulis Ma'mun Murod Al-Barbasy, mantan Sekretaris Departemen Agama DPP Partai Demokrat yang juga dikenal sebagai loyalis Anas, dalam buku Anas Urbaningrum Dalam Sorotan Status Facebook Tumbal Politik Cikeas.
Di Madinah, SBY sebagai Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat minta kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk segera menentukan status hukum Anas Urbaningrum terkait kasus korupsi proyek pembangunan kompleks olahraga di Hambalang, Bogor, Jawa Barat. Tak lama kemudian, Jumat, 9 Februari 2013, giliran Majelis Tinggi Partai Demokrat mengadakan rapat membahas penyelamatan partai dan menghasilkan delapan poin keputusan.
Hasil rapat itu disebut Ma'mun Murod tidak lebih merupakan kudeta terhadap Anas Urbaningrum karena kekuasaannya diambil alih oleh SBY sebagai Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat.
Rupanya, Anas Urbaningrum yang hadir dalam rapat Majelis Tinggi tersebut tidak bersedia menendatangani dokumen berisi Delapan Poin Penyelamatan Partai Demokrat.
Ia keberatan terhadap isi poin ketujuh yang menyatakan, "Kepada Ketua Umum Partai Demokrat saudara Anas Urbaningrum yang tetap menjadi wakil majelis tinggi sementara saya (SBY) memimpin langsung gerakan penataan dan pembersihan partai ini, saya berikan kesempatan untuk menghadapi masalah hukum dengan harapan keadilan benar-benar tegak dan tim hukum siap memberikan bantuan."
Selain itu Anas menganggap poin ketiga menabrak konstitusi partai seperti diatur dalam AD/ART Partai Demokrat.
Poin ketiga menyebutkan Fraksi Partai Demokrat di DPR, DPD, dan DPC berada dalam kendali dan bertanggung jawab kepada majelis tinggi sesuai hirarki partai.
"Saya sangat sadar, bahwa poin-poin penyelamatan ini inkonstitusional dan de facto kudeta atas diri saya," ujar Anas Urbaningrum kepada Ma'mun Murod.
Terkait poin ketujuh, Anas Urbaningrum keberatan karena memposisikan dirinya mempunyai masalah hukum.
"Sebaiknya poin itu (7) dihapus. Saya mohon maaf, kalau yang lain (maksudnya: anggota Majelis Tinggi lainnya) setuju, saya tidak setuju dengan poin ini, dan saya tidak akan tanda tangan," ujar Anas Urbaningrum.
Mendengar penolakan Anas, raut wajah SBY langsung menampakkan kemarahan yang luar biasa.
"Kalau tidak ada poin ini (7), saya harus berbicara apa saat konferensi pers nanti? Ini sudah ditunggu kader Partai Demokrat seluruh Indonesia, dan masyarakat," ujar SBY.
Menurut Anas Urbaningrum, saat itu SBY sangat yakin Anas bakal berstatus sebagai tersangka kasus Hambalang.
"Ini benar-benar operasi sunyi yang sukses meski sempat terganggu dan ternodai oleh bocornya sprindik (surat perintah penyidikan yang diterbitkan pimpinan KPK)."
Bagi Ma'mun Murod, kasus bocornya sprindik terhadap Anas Urbaningrum merupakan bagian dari ketidaksempurnaan strategi penggulingan sang Ketua Umum DPP Partai Demokrat hasil kongres di Bandung.
"KPK adalah produk politik DPR yang siapa pun untuk bisa duduk di dalamnya membutuhkan lobi-lobi politik. Hampir-hampir tidak ada satu pun anggota KPK yang terpilih tanpa melakukan lobi-lobi politik," tulis Ma'mun Murod.
KPK akhirnya menjaring Anas Urbaningrum sebagai tersangka, 22 Februari 2013.
Sehari setelah berstatus sebagai tersangka, Anas menyatakan berhenti dari posisi Ketua Umum DPP Partai Demokrat sekaligus mundur dari partai tersebut.
Setelah Anas dilengserkan, pelan-pelan para loyalisnya dipereteli dari struktur partai.
Menurut Ma'mun Murod ada empat model pembersihan loyalis Anas. Pertama, ada yang dipecat sebagai pengurus harian sekaligus dicoret dari daftar calon anggota legislatif atau caleg.
Kedua, ada yang tetap duduk sebagai pengurus harian tetapi dicoret dari daftar pencalonan anggota legislatif.
Ketiga, dicoret dari pengurus harian tetapi tetap dicalonkan sebagai anggota legislatif meski ditaruh di nomor tidak jelas.
"Keempat tetap masuk sebagai pengurus harian dan juga diperbolehkan menjadi calon anggota legislatif nomor urut yang tidak jelas," tulisnya.
Ma'mun Murod menyebut dirinya masuk kategori pertama yaitu dipecat dari pengurus harian dan tak dicalonkan sebagai anggota parlemen.(*)