TRIBUNnews.com, JAKARTA - Pada masanya, Bung Karno pernah mengangkat kata 'tempe' sebagai metafora, betapa bangsa Indonesia memiliki mental lemah yang tidak mampu berdikari atau berdiri di atas kaki sendiri di bidang ekonomi. Kenyataan itu kembali terulang.
Tengok saja bagaimana harga tempe melambung tinggi, diikuti tahu, menyusul langkanya kedelai di pasaran. Lagi-lagi, Indonesia tidak bisa berdikari secara ekonomi untuk menghadirkan tahu dan tempe yang menjadi keseharian menu banyak orang.
Dalam pidatonya pada Rakornas III PDI Perjuangan di Econvention Hall, Ancol, Jakarta Utara, Jumat (6/9/2013), Ketua Umum Megawati Soekarnoputri pun tak lepas mengeluarkan sentilan soal kenaikan harga kedelai sebagai bahan baku tempe dan tahu.
"Konsepsi berdiri di atas kaki sendiri di bidang ekonomi semakin jauh dari kenyataan. Bahkan, tempe, yang di abad lalu dipakai Bung Karno dalam karya-karyanya sebagai metafora - bangsa tempe, mental tempe - untuk menggambarkan rendahnya kualitas sebuah bangsa, kini bersama-sama dengan tahu menjadi potret ketidak-berdayaan sebagai bangsa merdeka," ujar Mega.
Bahkan, lanjut Mega, hal yang lebih mengejutkan adalah kebijakan terbaru pemerintah yang untuk kesekian kalinya mencoba meredam kenaikan harga kedelai, pilihannya fokus pada upaya menghilangkan seluruh hambatan impor bukannya berikhtiar meningkatkan daya produksi petani.
"Hal ini menimbulkan pertanyaan, kepada siapa sebenarnya mereka berpihak? Sebagai pemimpin politik saya berharap, agar krisis ini segera ditemukan jalan keluarnya. Saya berharap kondisi ekonomi segera pulih. Karena krisis yang ada punya implikasi berantai, mejemuk dan kompleks," kata Mega.