News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Artefak Dicuri

Artefak Hilang Cerminan Lemahnya Nasionalisme

Editor: Johnson Simanjuntak
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Dirjen Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kacung Maridjan (kanan) dan Kepala Museum Nasional, Intan Mardiana memberikan keterangan seputar hilangnya empat artefak emas koleksi Museum Nasional, Jakarta Pusat, Kamis (12/9/2013). Artefak dari zaman Mataram Kuno yaitu lempengan naga mendekam, lempengan Harihara, lempengan bulan sabit, dan wadah bertutup, diketahui hilang dari tempat penyimpanannya di Ruang Khasanah museum tersebut pada Rabu, 11 September pagi. KOMPAS/WISNU WIDIANTORO

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Hilangnya benda bersejarah sebagai peninggalan perjuangan bangsa mencerminkan lemahnya rasa nasionalisme, patriotisme, dan paradigma yang salah selama ini dalam menghargai sebuah peradaban.

"Padahal, pengamanan benda bersejarah itu tak selalu terkait anggaran. Sebab dulu sebelum reformasi dengan anggaran yang pas-pasan, tapi kesadarannya tinggi, ya aman-aman saja,” kata anggota DPD RI Ahmad Jajuli dalam diskusi “Pencurian Artefak” bersama kriminolog UI Bambang Widodo Umar, dan dari forum penyelamatan aset dan harta negara Didied Mahaswara di Gedung DPD RI Jakarta, Jumat (20/9/2013).

Menurut Ahmad Jajuli, Pimpinan negara seolah tak lagi menghargai peradaban sebagai identitas bangsa. Karena itu, Presiden RI selaku penyelenggara negara ikut bertanggung jawab terhadap hilangnya benda cagar budaya peninggalan perjuangan sejarah bangsa.

Jajuli mengatakan, saat ini merupakan momentum tepat membangun kesadaran bersama untuk menghargai peninggalan sejarah budaya bangsa, sebagai identitas sebuah negara bangsa.

Bambang Widodo Umar berpendapat sama jika presiden ikut bertanggung jawab sebagai kepala negara.

“Kalau pengelolaannya oleh Kemendikbud, maka Mendikbud bertanggung jawab. Alat keamanan di negara ini banyak; dari Satpam, Kepolisian, dan TNI. Masalahnya bekerja sendiri-sendiri, tak terintegrasi secara sistemik. Ditambah lagi pendidikan kita berorientasi pada rasio, akal, intelektual, dan mengabaikan akal budi dan sudah tak lagi menghargai kearifan lokal, maka bangsa ini pun tak lagi menghargai sejarah perjuangan bangsa sendiri,” ujarnya.

Menurut Didied, perlunya revisi UU perlindungan benda cagar budaya, karena dalam UU yang ada belum diatur jelas dari soal pengamanan, kepemilikan, dan benda-benda yang dinilai sebagai peninggalan sejarah budaya bangsa tersebut.

“Ada pasal yang menjelaskan benda itu dianggap sebagai cagar budaya kalau sudah berusia lebih dari 50 tahun, dan anehnya perorangan bisa memiliki benda bersejarah dimaksud. Jadi, saat ini perlu revisi UU tersebut berikut anggaran pengamanan yang diperlukan,” ujarnya.(js)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini