TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Proses hukum terhadap Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) non aktif Akil Mochtar, harus menjadi momentum koreksi institusional internal untuk menguatkan kinerja MK.
Mulyana W Kusumah, pengamat politik berharap, proses hukum Akil di KPK jangan menundukkan MK demi kepentingan politik tertentu.
“Pemulihan citra kelembagaan MK sebagai benteng demokrasi konstitusional, harus didukung segenap kekuatan politik demokratik,” ujar Mulyana di Jakarta, Rabu (9/10/2013).
Karena, lanjutnya, bila terjadi pelemahan, penundukkan, serta pelumpuhan MK, maka berpotensi menutup jalur hukum untuk menyelesaikan berbagai bentuk ketidakadilan konstitusional, bahkan dapat menimbulkan krisis ketatanegaraan.
Indonesia sebagai negara ke-78 yang membentuk Mahkamah Konstitusi pada 10 tahun lalu, para Mulyana, pada satu sisi telah membangun citra internasional sebagai negara hukum modern.
Pada sisi lain, Indonesia melakukan langkah maju dengan melahirkan institusi strategis yang mengawal demokrasi konstitusional.
Di negara-negara hukum modern seperti Prancis, menurut Mulyana, wewenang MK (Conseil Constitutionnel) adalah pemegang otoritas konstitusional tertinggi, dengan wewenang antara lain melakukan supervisi atas pileg dan pilpres, serta memastikan legitimasi referendum.
“MK Prancis sekarang beranggotakan antara lain tiga mantan presiden, yaitu Valery Giscard d'Estaing, Jacques Chiraq, dan Nicolas Sarkozy. MK di Jerman, Bundesverfasssungsgericht, punya tugas utama yang sama,” ungkap Mulyana yang juga Direktur Seven Strategic Studies (7SS).
Di Indonesia, pasal 24 C UUD 1945 ayat (1) menegaskan bahwa MK berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir, yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap UUD.
Juga, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD, memutus pembubaran parpol, dan memutus perselisihan hasil pemilu.
Gagasan dan upaya untuk melakukan pengebirian eksistensi, pengerdilan fungsi dan tugas ataupun pemangkasan kewenangan serta kewajiban konstitusional MK, akan meruntuhkan pilar utama negara hukum.
“Jika sampai hanya demi kepentingan politik, merupakan setback dalam upaya mensejajarkan Indonesia dengan negara-negara konstitusional beradab dan modern,” papar Mulyana dalam keterangan pers yang diterima Tribunnews.com. (*)