Kerjasama yang erat tersebut, ungkap Joko, juga terbukti ketika terdakwa Fathanah langsung menghubungi Luthfi usai memperoleh janji imbalan Rp 40 miliar.
Bahkan, dalam pembicaraan tanggal 9 Januari 2013 tersebut, Luthfi sempat menjanjikan akan menambahkan kuota Indoguna menjadi 10.000 ton dari permintaan penambahan sebanyak 8.000 ton.
Kemudian lanjut Joko, terdakwa Fathanah kembali menghubungi Luthfi setelah menerima uang Rp 1,3 miliar dari Maria Elizabeth Liman. Dalam pembicaraan tersebut, Fathanah mengatakan ada kabar yang menguntungkan.
"Dengan demikian Luthfi telah menerima janji Rp 40 miliar yang sebagian Rp 1,3 miliar telah diterima terdakwa Fathanah. Padahal diketahui untuk menggerakan terdakwa selaku Presiden PKS dan anggota dewan agar rekannya Suswono memberikan penambahan kuota impor daging sapi," kata Joko.
Sementara mengenai tindak pidana pencucian uang, Fathanah dijerat dengan Pasal 3 UU Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
Sebab, majelis hakim menilai Suami Sefty Sanustika itu selama tahun 2011 sampai 2013 melakukan pencucian uang sebagai perbuatan berdiri sendiri yaitu traansfer, belanjakan dan tukarkan, menyaruhkan uang senilai Rp 38.709.640.603, yang patut diduga hasil tidak pidana korupsi.
Dalam menjatuhkan vonisnya, majelis hakim mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan dan meringankan. Yang memberatkan, Fathanah dinilai kontra produktif terhadap tindak pidana korupsi, pernah dihukum sebelum perkara ini, tidak mendukung upaya pemerintah yang sedang gencar memberantas korupsi serta Fathanah telah melakukan lebih dari satu tindak pidana.
"Sementara yang meringankan, terdakwa berlaku sppan selama menjalani persidangan dan masih memiliki tanggungan keluarga," kata anggota majelis hakim, Joko Subagyo.
Dalam vonis pencucian uang terhadap Fathanah, tidak semua majelis hakim bulat mengambil keputusan. Hakim yang mengajukan dissenting opinion adalah anggota majelis hakim 4, I Made Hendra Kusuma dan anggota majelis haki 3, Djoko Subagyo.
Mereka berpendapat jaksa penuntut umum pada KPK tidak berwenang melakukan penuntutan atas perkara TPPU atas tersangka Luthfi Hasan Ishaaq.
Made Hendra menjelaskan, KPK berwenang melakukan penyidikan perkara pencucian uang yang tindak pidana asalnya korupsi sebagaimana diatur dalam Pasal 74 UU Nomor 8 tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
Namun UU tersebut tidak mengatur penuntut umum yang berwenang melakukan penuntutan atas tindak pidana pencucian uang. Merujuk Pasal 1 butir 13 KUHAP, penuntut umum yang dimaksud merupakan jaksa yang diberi wewenang oleh UU untuk melakukan penuntutan.
"Penuntut umum yang dimaksud hanya di bawah Kejaksaan Agung dan Kejaksaan Tinggi sehingga tidak termasuk KPK. Oleh karena itu hasil penyidikan TPPU harus diserahkan penuntut umum kepada Kejaksaan Negeri setempat," papar Made Hendra.
Sedangkan hakim anggota Djoko Subagyo mengatakan kewenangan penuntutan TPPU harus ditentukan secara eksplisit.
"Penuntut umum KPK tidak punya kewenangan penututan atas TPPU ke pengadilan. Akibat tidak diterimanya TPPU maka surat dakwaan penuntut umum sepanjang mengenai TPPU haruslah dinyatakan tidak dapat diterima," ujarnya.
Menanggapi vonis tersebut, Fathanah dan Pensihat Hukum menyatakan pikir-pikir. Hal serupa juga dinyatakan tim Jaksa KPK yang diketuai Muhibuddin.