TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Hakim Mahkamah Konstitusi, Maria Farida Indrati, mengaku belum memiliki penilaian terhadap mantan atasannya Ketua MK, Akil Mochtar, bersalah menerima suap dan kini ditetapkan sebagai tersangka oleh penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi.
"Semua orang, media, dan bukti-bukti yang diajukan KPK demikian. Tapi masih ada persidangan. Kalau alat-alat bukti yang dikemukakan KPK, apakah itu benar terjadi," ucap Maria saat bersaksi untuk terdakwa Hambit Bintih dan Cornelis Nalau Antun di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Kamis (16/1/2014).
Mulanya, Maria tidak percaya jika Akil ditangkap tangan KPK karena menerima suap di rumah dinasnya untuk penanganan sengketa perkara Pemilu kepala daerah Gunung Mas, Kalimantan Tengah, dari Hambit, melalui politisi Golkar Chairun Nisa.
"Karena saya percaya dengan Pak Akil, selama lima tahun berhadap-hadapan dengan kamar saya. (ruangan kerja di MK, red)," cerita Maria. Dalam kasus penanganan perkara sengketa pilkada Gunung Mas, Maria mengaku satu panel dengan Akil dan Anwar Usman.
Dalam dakwaan Nisa, Hambit dan Cornelis, jaksa menyebut Akil menerima suap sebesar Rp 3 miliar dari Hambit dan Cornelis, lewat Nisa. Rincian uang tersebut yakni 294.050 dollar Singapura, 22.000 dollar Amerika dan Rp 766.000 atau berjumlah Rp 3 miliar serta Rp 75 juta.
Uang tersebut diberikan untuk mempengaruhi putusan perkara permohonan keberatan hasil Pilkada Kabupaten Gunung Mas yang tengah berpekara di MK. Dalam sengketa ini, Hambit dan pasangannya sebagai Anton, yang dinyatakan pemenang oleh KPU setempat sebagai pihak terkait.
Selain itu, pemberian tersebut juga dimaksudkan agar MK menyatakan keputusan KPU Kabupaten Gunung Mas Nomor 19 tahun 2013 tentang Pasangan Calon Terpilih pada Pilkada Kabupaten Gunung Mas periode 2013-2018 adalah sah.