TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kewibawaan Mahkamah Agung tengah dipertaruhkan demi tegaknya hukum serta keadilan. Banyak putusan MA yang berkekuatan hukum tetap (inkracht), tetapi tidak dilaksanakan, seperti putusan atas sengketa kepemilikan Televisi Penddidikan Indonesia (TPI) yang memenangkan pemilik sahnya Siti Hardiyanti Rukmana (Mbak Tutut).
Negara dalam hal ini aparat MA harus menempuh jalan tegas agar putusan mengenai TPI tersebut bisa dilaksanakan. Jika negara tidak mampu, maka bencana hukum telah melanda negeri ini.
Demikian rangkuman pendapat guru besar ilmu komunikasi YAI/Persada Prof Anwar Arifin, Wakil Ketua Komisi Informasi Publik (KIP) Usman Abdali Watik, serta kuasa hukum pemegang saham TPI Hary Ponto dalam diskusi bertema “Keadilan Hukum dalam Kasus TPI: Membaca kasus Pemblokiran Sisminbakum dan Pelaksanaan Putusan MA untuk kembalinya TPI ke Pangkuan Mbak Tutut” yang diselenggarakan oleh Studi Club Demokrasi (SCD), Kamis (23/1/2014).
Dalam rilisnya, diskusi yang dipandu Direktur Eksekutif SCD Sulistyo, ketiga pembicara menekankan agar negara mengambil peran dan kewenangannya sesuai dengan putusan yang telah diambil MA dan sudah berkekuatan hukum tetap tadi.
Anwar Arifin dan Usman Abdali Watik menegaskan, negara dalam hal ini aparat MA tidak boleh takut dengan media, mengingat pihak yang dikalahkan adalah group besar media yang memiliki beberapa stasiun televisi, surat kabar, radio, dan situs online. “Keadilan harus ditegakkan,” kata Usman.
Usman menambahkan, jalan lain juga bisa ditempuh TPI dengan mengajak kelompok-kelompok penekan agar pihak MA dan juga pihak MNC Group menaati putusan MA.
“Kita mendorong lembaga penyiaran tidak menjadi alat pribadi seseorang, apalagi seseorang yang punya kepentingan politik tertentu dan mengabaikan kepentingan umum,” katanya.
Hary Ponto mengatakan, dengan keluarnya putusan MA yang memenangkan TPI Mbak Tutut berarti Hary Tanoe tidak berhak lagi atas aset dan frekuensi TPI.
“Putusan MA yang sudah inkracht itu bersifat menyatakan atau declaratory. Jadi sudah sangat jelas dan tidak perlu ada eksekusi. Tinggal jiwa besar dan kenegarawanan dalam menghadapi kasus ini,” kata Hary Ponto.