TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Tarif yang dikenakan Akil Mochtar selaku hakim konstitusi kepada calon kepala daerah yang ingin dimenangkan gugatan sengketa pilkada di MK adalah bervariasi. Untuk sengketa pilkada Kabupaten Buton dan Kabupaten Morotai, Akil memasang tarif masing-masing Rp 6 miliar.
Hal ini terungkap saat Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari KPK membacakan surat dakwaan Akil Mochtar di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Kamis (20/2/2014).
Jaksa Olivia Boru Sembiring menerangkan modus korupsi Akil selaku hakim konsitusi yang menangani kedua perkara sengketa pilkada tersebut.
Pilkada Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara, digelar pada Agustus 2011 dan diikuti oleh sembilang pasangan calon bupati dan wakil bupati.
Dari penghitungan hasil perolehan suara, KPUD setempat menempatkan pasangan Agus Feisal Hidayat-Ya Udu Salam Ajo sebagai bupati dan wakil bupati terpilih.
Dua pasangan calon yang kalah, yakni La Uki-Dani dan Samsu Umar-La Bakry mengajukan gugatan hasil pilkada tersebut ke MK. Adalah Akil Mochtar yang terpilih menjadi ketua panel hakim yang menangani ketiga perkara itu. Sementara, hakim Muhammad Alim dan Hamdan Zoelva menjadi anggota panel hakim.
Sidang MK pada 21 September 2011 memutuskan, mengabulkan permohonan kedua pasangan calon tersebut. MK membatalkan penetapan Bupati dan Wakil bupati Buton terpilih dari KPUD, memerintahkan KPUD untuk verifikasi faktual dan administrasi dua pasangan calon lain, dan meminta dilakukannya pemungutan dan Penghitungan Suara Ulang (PSU).
Hasil PSU yang diikuti oleh tujuh pasangan calon, menempatkan pasangan Samsu Umar-La Bakry sebagai Bupati dan Wakil Bupati Buton terpilih.
Pada 22 Juli 2012, orang suruhan Akil, Arbab Paproeka mengontak Samsu Umar dan menyampaikan permintaan Akil agar disediakan dana Rp 6 miliar terkait hasil PSU tersebut. Akil melalui Arbab juga minta Samsu agar mengirimkan dana tersebut dengan cara pemindahan buku dari rekening Bank Mandiri ke rekening perusahaan istri Akil, CV Ratu Samagat. Namun, Samsu Umar hanya memindahbukukan dana Rp 1 miliar ke rekening CV tersebut.
Setelah MK putusan penetapan hasil PSU dibacakan pada 24 Juli 2012, Akil Mochtar mengirimkan SMS ke Samsu Umar dengan berisi menagih kekurangan dana Rp 3 miliar kepada Samsu. Akan tetapi Samsu Umar tak juga memenuhi permintaan tersebut.
Modus yang lebih kurang sama dilakukan oleh Akil saat meminta dana dari calon bupati di Pilkada Kabupaten Pulau Morotai.
Mulanya, Pilkada Kabupaten Pulau Morotai diikuti oleh tujuh pasangan calon bupati dan wakil bupati. Hasil penghitungan perolehan suara KPUD, menempatkan pasangan Arsad Sardan dan Demianus Ice sebagai bupati dan wakil bupati terpilih.
Hasil pilkada tersebut digugat oleh pasangan yang kalah, Rusli Sibua dan Weni R Paraisu ke MK pada 11 Mei 2011. Lagi, Akil Mochtar menjadi ketua panel hakim, Muhammad Alim dan Hamdan Zoelva menjadi anggota panel hakim dari perkara gugatan pilkada itu.
Pada saat perkara tersebut diperiksa panel hakim, penasihat hukum Rusli-Weni, Sahrin Hamid mengirimkan SMS kepada Akil dan beberapa hari kemudian Akil menelepon Sahrin dan minta disiapkan dana Rp 6 miliar sebelum putusan dibacakan.
Setelah konsultasi Sahrin dan Rusli di Hotel Borobudur Jakarta, Rusli hanya menyanggupi menyiapkan dana Rp 3 miliar agar perkaranya di MK dimenangkan.
Atas penawaran sang calon bupati itu, Akil tak berpikir panjang atau pun geram. Dia langsung meminta Sahrin untuk mengirimkan dana Rp 3 miliar itu ke kantornya di MK. Namun, Sahrin menolak permintaan Akil karena takut. Akhirnya, mereka sepakati untuk mentrasfer dana itu ke rekening perusahaan istri Akil, CV Ratu Samagat dengan peruntukan pada slip setoran sebagai biaya 'angkutan kelapa sawit'.
Atas 'pelicin' Rp 3 miliar, akhirnya sidang MK pada 20 Juni 2011 mengabulkan permohonan pasangan Rusli-Weni. MK memutuskan membatalkan keputusan KPUD tentang hasil rekapitulasi perolehan suara dan penetapan bupati dan wakil bupati terpilih sebelumnya.
Sidang MK tersebut juga memutuskan, bahwa perolehan suara yang sah adalah pasangan Rusli-Weni memperoleh suara terbanyak, yakni 11.384 suara dan lima pasangan calon lainnya memperolehan suara di bawahnya.
Atas perbuatannya ini, Akil dalam dakwaan kedua didakwa telah melanggar Pasal 12 huruf c Undang-undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 65 ayat (1) KUH-Pidana.(coz)