News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Diskriminasi Terhadap Penyandang Disabilitas di PTN Adalah Kecelakaan Proses Berpikir

Penulis: Deodatus Pradipto
Editor: Hasiolan Eko P Gultom
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Penyandang Disabilitas yang berprestasi

Penulis Wartawan Tribunnews.com, Deodatus S. Pradipto

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, Prof Dr Irwanto, menilai terjadi diskriminasi terhadap orang dengan disabilitas di perguruan tinggi negeri. Irwanto menilai hal ini sebagai suatu kecelakaan proses berpikir.

Dalam pernyataannya yang diterima Tribunnews.com, Senin (10/3/2014), Irwanto mengatakan terdapat 10 jenis kecelakaan proses berpikir di PTN dalam prosedur pendaftaran mahasiswa.

Pertama, orang dengan disablitas akan menjadi liability dalam proses belajar-mengajar di perguruan tinggi dan prestasinya tidak akan sebaik mereka yang tidak mengalami disabilitas.

“Pada kenyataannya, mahasiswa dengan disabilitas (di jurusan apapun), bahkan yang mengalami autisma, tidak ada yang berprestasi di rangking paling bawah atau menjadi mahasiswa terbodoh di dalam kelasnya. Kebanyakan sama berprestasinya dengan mahasiswa lain kalau tidak di atas rata-rata,” tutur Irwanto.

Irwanto yang juga aktivis disabilitas mengatakan kecelakaan proses berpikir yang kedua adalah mahasiswa dengan disabilitas merepotkan pengelola pendidikan tinggi. Menurut Irwanto, pada kenyataannya mereka dapat mengurus dirinya sendiri.

“Kalaupun merepotkan, mereka sama merepotkannya dengan mahasiswa lain atau dosen yang memiliki kebutuhan khusus,” jelas Irwanto.

Ketiga adalah kompetensi mereka dapat dan boleh ditentukan oleh orang yang memiliki kekuasaan untuk membuat persyaratan penerimaan.

Irwanto mengatakan, pada kenyataannya kebanyakan dari pejabat itu tidak benar-benar tahu apa keterbatasan mahasiwa mereka.

Dia kembali menegaskan, konvensi PBB mengenai hak-hak orang dengan disabilitas memberikan kebebasan sepenuhnya bagi mereka untuk menentukan jalan hidup mereka sendiri.

Kecelakaan proses berpikir yang keempat adalah setiap prodi hanya mengandung satu potensi karier. Irwanto mengatakan cara berpikir ini merupakan cara berpikir linear seperti di tingkat sekolah dasar. Contohnya, mahasiswa kedokteran hanya menjadi dokter.

“Kenyataannya, mempelajari ilmu pengetahuan membuka kesempatan untuk mengembangkan 1001 karier sesuai keinginan dan kapasitas orang itu sendiri,” kata Irwanto.

Irwanto menuturkan kecelakaan yang kelima adalah pembangunan nasional hanya dapat dilaksanakan secara sukses oleh mereka yang merasa dirinya utuh dan normal.

Menurut Irwanto, pada kenyataannya semua elemen masyarakat, termasuk orang dengan disabilitas, dapat memberikan sumbangan yang sangat berarti bagi pembangunan nasional dan meningkatkan daya saing bangsa Indonesia di antara bangsa-bangsa lainnya.

Keenam adalah mengurus orang dengan disabilitas itu mengeluarkan biaya yang mahal. Menurut Irwanto, pada kenyataannya jika kebutuhan mereka diperhitungkan sejak awal, maka tidak ada tambahan biaya yang signifikan.

“Dengan partisipasi orang dengan disabilitas, berbagai biaya pembangunan dapat diampu oleh dengan disabilitas itu sendiri,” tegas Irwanto yang juga pemerhati anak.

Irwanto mengatakan kecelakaan yang ketujuh adalah tidak semua orang akna mengalami disabilitas. Manusia dapat memilih dan menjaga kualitas hidupnya untuk mencegah disabilitas.

Tapi Irwanto mengatakan manusia tidak dapat memilih. Sebaik apapun mereka menjaga kesehatan tubuh dan mentalknya, pada suatu titik tertentu mereka akan mengalami disabilitas karena usia, kecelakaan, atau penyakit.

Selanjutnya, kecelakaan proses berpikir yang kedelapan adalah hidup dengan disabilitas penuh dengan cobaan dan kesengsaraan sehingga cenderung menerima nasib.

Menurut Irwanto, kenyataannya banyak orang dengan disabilitas mampu bersyukur atas apa yang mereka capai dalam hidupnya dan merasakan kebahagiaan atas prestasi mereka sehari-hari karena mereka pantang menyerah.

Kesembilan, perguruan tinggi mereka tidak memiliki tanggung jawab dalam memajukan hak-hak orang dengan disabilitas. Irwanto mengatakan pada kenyataannya dunia sangat mengharapkan perguruan tinggi untuk meretas semua hambatan melalui kemajuan teknologi, kearifan berpikir, dan kreativitas orang pandai.

Kesalahan terakhir adalah jumlah orang dengan disabilitas sedikit. Sehingga kebijakan publik yang diskriminatif tidak memiliki dampak signifikan yang merugikan masyarakat.

“Kenyataannya, jumlah orang dengan disabilitas di negeri ini sekitar 14-16% dari populasi. Oleh kerena itu, kebijakan publik seperti penerimaan mahasiswa merugikan orang banyak dan merugikan bangsa dan negara,” jelas Irwanto.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini