Posisi Satinah saat itu sudah divonis bersalah melakukan pembunuhan berencana. Kemudian sidang pun minta diulang sampai akhirnya Satinah divonis bersalah melakukan pembunuhan. "Tetapi vonisnya tetap hukuman mati," ucapnya.
Setelah laporan ke dua, baru lah Kemenlu bergerak dengan mendatangi keluarga Satinah di Semarang, Jawa Tengah kemudian memberikan informasi penanganan kasus Satinan melalui surat pada 13 Oktober 2011.
Ada informasi penting yang disampaikan Kemenlu kepada keluarga Satinah diantaranya pihak pemerintah berupaya melakukan negosiasi dengan keluarga majikan Satinah supaya Satinah bisa terbebas dari hukuman mati.
"Keluarga korban memberikan maaf. Dengan difasilitasi dari Gubernur Gassem keluarga sepakat untuk memberikan maaf dan meminta diyat sebesar 500 ribu riyal atau sekitar Rp 1,25 miliar," ungkapnya.
Tetapi dikatakan Anis, tidak tahu bagaimana asal-usulnya justru diyat yang harus dibayar menjadi 7 juta riyal atau sekitar Rp 21 miliar. Hal tersebut lah yang hingga kini masih alot jadi bahan negosiasi dengan majikan Satinah.
Pembayaran diyat tersebut sudah tertunda hingga empat kali, awalnya pembayaran diyat terakhir harus dibayarkan Desember 2012, kemudian diperpanjang lagi hingga Desember 2013, diperjang lagi hingga Febuari 2014, diperpanjang lagi hingga 3 April 2014.
"Sekarang negosiasi yang kelima, saya tidak tahu akan ada negosiasi perpanjangan diyat lagi atau pemerintah akan bayar diyat, kalau nadanya pada saat pemerintah kemarin konpers tetap tidak mau membayar dengan alasan khawatir akan terjadi preseden semua TKI akan terancam hukuman mati dan harus bayar diyat," ungkapnya.
Dikatakan Anis, bila pemerintah memberikan bantuan hukum yang maksimal sejak awal, maka proses hukum yang dijalani Satinah tidak akan berakhir seperti saat ini. Nyawa Satinah kini hanya tergantung upaya negosiasi pemerintah Indonesia dengan keluarga majikan Satinah.
"Satinah kan kasusnya 2007 dan pemerintah baru tahu 2009. Kalau sejak awal mungkin akan berbeda ceritanya," ungkapnya.