BCA menggunakan jasa konsultan pajak dari Harry Mulyanto untuk seluruh proses keberatan tersebut. "Dia dari dulu konsultan profesional. Jadi, kami sudah memakai dia sejak 1998 sampai sekarang. Sebelumnya kami pakai Arthur Anderson. Tapi, bayarnya mahal, kami waktu 1998 rugi besar begitu, jadi kami pakai konsultan yang lebih terjangkau," jelasnya.
Dan akhirnya keberatan pajak BCA itu dinyatakan diterima sebagaimana SK Nomor KEP-870/PJ.44/2004 tertanggal 18 Juni 2004.
Menurutnya, pada saat berakhirnya masa kompensasi kerugian pajak pada 1998, masih terdapat sisa kompensasi yang belum digunakan sebesar Rp 7,81 triliun.
Oleh karena itu, lanjut Tahja, seandainya keberatan BCA atas koreksi pajak senilai Rp 5,77 triliun ditolak Ditjen Pajak, maka masih terdapat sisa tax loss carry forward yang dapat dikompensasikan sebesar Rp 2,04 triliun. Sisa tax loss carry forward tersebut tidak bisa dipakai lagi atau hangus setelah tahun 2003.
Ia menegaskan, seandainya terjadi penghapusan kredit macet, maka saldo piutang macet itu masih berada pada laporan keuangan BCA. Sementara, setelah terjadi jual beli piutang, seluruh aset piutang berpindah ke BPPN.
"Karena itu sudah dijual, dialihkan ke BPPN, maka hasil penjualan selanjutnya menjadi milik BPPN dan tidak dikenakan pajak karena BPPN adalah badan milik negara. Jadi, bukan pajaknya yang dibayar, tapi seluruh penagihan dipakai oleh BPPN. Dan tidak ada (dana) yang masuk ke BCA dan BCA juga tidak bayar atas income yang diperoleh BPPN," paparnya.
Perlu diingat, kata Jahja, bahwa BCA menjadi perusahaan terbuka pasca-melakukan IPO pada tahun 2000. Dan sebelum itu, BCA telah dinyatakan tax clear, yakni telah melaksanakan kewajiban dan mendapat hak selaku Wajib Pajak.
"Selain itu, bahwa pada 2003, ada bukti dari BPPN menyebutkan bahwa agunan (yang dijual BCA) itu berhasil ditagih Rp 3,29 triliun dan itu tidak diberikan ke BCA karena itu sudah milik BPPN. Kalau misalnya itu piutang macet, maka harus diserahkan ke BCA, namanya recovery. Jadi, itu perbedaan yang saat itu kami kemukakan. Jadi, dari segi peraturan perpajakan, kami merasa benar. Sebab pd 2002, ketika dilakukan koreksi pajak, otomatis kami keberatan karena kami merasa benar," kata dia.