TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pengamat politik dari Univeristas Indonesia Ari Junaedi mengungkap sebuah fenomena menarik tentang migrasi aktivis, pensiunan jenderal bahkan pengusaha "masuk" ke lingkar dalam tim pemenangan capres.
Dikatakan, jika sebelumnya para aktivis, pensiunan jenderal, bahkan pengusaha tersebut berada di kubu politik yang berseberangan dengan haluan politik si capres, namun hanya karena alasan pragmatis, arah dukungan politik sekarang ini bisa berubah.
Di kubu Partai Demokrat, Gubernur Sulawesi Utara Sinyo Hari Sarundayang dulunya diusung menjadi gubernur oleh PDIP. Tetapi dengan alasan ingin maju capres, kini beralih ke partai besutan SBY. Aktivis gerakan mahasiswa Jumhur Hidayat yang ikut berada di tim sukses pemenangan SBY di Pilpres 2004, kini bercokol sebagai pembela Jokowi.
Demikian juga di kubu Prabowo, ketua tim media center Gerindra adalah Budiono Kartohadiprojo yang sebelumnya "gigih" membantu kemenangan Jokowi di Pilgub DKI. Ketua tim pemolesan citra PDIP yang menelorkan slogan "Indonesia Hebat" Ipang Wahid, sebelumnya lama aktif di tim sukses pemenangan PKS dan Partai Demokrat.
Belum lagi migrasi pengusaha dan eks pejabat di era SBY yang kini "menggantungkan" peruntungannya di kubu Prabowo maupun Jokowi karena berpeluang menang di Pilpres mendatang.
"Itu adalah fenomena rutin yang terjadi di setiap hajatan demokrasi. Mereka tidak ubahnya seperti bunglon yang bisa mengubah pandangan politik demi incaran kedudukan dan politik transaksi," kata Ari Junaedi dalam pernyataannya, Senin (28/4/2014).
"Sebaiknya setiap capres memiliki tim pemenangan yang solid berintikan kader-kader militan, profesional yang teruji pengalaman dan punya konsistensi politik serta pribadi-pribadi yang tidak mengedepankan syahwat politik untuk kepentingan pribadi," tambahnya.
Ari yang juga pengajar Program Pascasarjana di Universitas Indonesia (UI) dan Universitas Diponegoro (Undip) itu, menambahkan gambaran sikap oportunis demikian hampir mewabah di setiap partai politik dan kubu capres sejak awal pemilu di era Orde Baru hingga sekarang ini.
Bedanya, lanjut dia, karakter politik bunglon itu makin masif di pemilu sekarang. Perpindahan elite parpol ke parpol yang berpeluang menang atau mendukung capres yang diprediksikan menang, katanya yakin, menjadi wajah politisi saat ini.
"Kalau dulu di jaman Bung Karno, pengusaha seperti Dasaad dan Markam selalu berpihak di Soekarno. Di zaman Soeharto, pengusaha seperti Liem Sie Liong dan Prayogo Pangestu selalu setia bersama Bapak Orde Baru itu. Namun di era reformasi ini, pandangan politik para pengusaha, mantan jenderal, bekas pejabat, serta termasuk aktivis tergantung arah angin," urainya.
Ari menekankan saat ini semakin susah mencari aktivis yang konsisten sikap politiknya. Masyarakat juga semakin langka menemukan karakter purnawirawan jenderal yang merah putih.
"Karena yang ada sekarang ini jenderal 'kuning' untuk hari ini, tetapi besok bisa berganti menjadi jenderal 'biru', dan lusa bersolek lagi menjadi jenderal 'merah'. Warna-warna tadi saya maksudkan untuk merujuk warna lambang partai," pungkas Ari Junaedi yang juga dosen S2 Komunikasi Politik di Universitas Dr Soetomo (Unitomo) Surabaya dan Universitas Persada Indonesia (UPI YAI) Jakarta ini.
Pengamat: Partai Politik dan Capres Harus Waspadai Politisi 'Bunglon'
Editor: Rachmat Hidayat
AA
Text Sizes
Medium
Large
Larger