TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berpendapat bahwa surat dakwaan yang disusun pihaknya terhadap terdakwa Anggoro Widjojo, sudah sesuai dengan KUHAP. Adapun pasal yang disangkakan kepada bos PT Masaro Radiocom itu yakni Pasal 5 ayat 1 huruf b UU Pemberantasan Tipikor jo Pasal 65 ayat 1 KUHP, Dan atau Pasal 13 UU Pemberantasan Tipikor jo Pasal 65 ayat 1 KUHP.
Meski, dalam penyidikan di KPK terhadap Anggoro dijerat menggunakan Pasal 5 ayat 1 huruf a UU Pemberantasan Tipikor dan tidak dijerat dengan Pasal 65 ayat 1 KUHP.
"Tindak pidana yang diatur dalam Pasal 5 ayat 1 huruf a dan Pasal 5 ayat 1 huruf b memang tindak pidana sejenis. Walaupun, Pasal 5 ayat 1 huruf a pemberian diberikan sebelum penerima berbuat. Sedangkan, Pasal 5 ayat 1 huruf b pemberian diberikan setelah penerima berbuat," kata Jaksa Iskandar Marwanto saat membacakan tanggapan jaksa atas nota keberatan (eksepsi) Penasehat Hukum Anggoro Widjojo di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Rabu (30/4/2014).
Oleh karena itu, tim Jaksa Penuntut Umum menilai, menggunakan Pasal 5 ayat 1 huruf b UU Pemberantasan Tipikor untuk menjerat Anggoro sudah tepat. Sebagaimana, dalam surat dakwaan.
Pada pokok perkara, Jaksa Iskandar menjelaskan bahwa terdakwa setelah mengetahui rancangan pagu anggaran 69 Program Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan, dikirim ke Departemen Keuangan (Depkeu), memerintahkan anaknya David Angkawijaya memberi uang ke Yusuf Erwin Faizal selaku ketua Komisi IV DPR tahun 2007.
Atas dasar itulah, Iskandar mengatakan bahwa pengenaan Pasal 5 ayat 1 huruf b terhadap Anggoro telah tepat karena pemberian dilakukan setelah penerima melakukan sesuatu sesuai keinginan pemberi.
"Maka kami menyatakan surat dakwaan telah memenuhi syarat formal dan materil. Dan meminta supaya eksepsi ditolak," kata Jaksa Iskandar.
Menanggapi tanggapan jaksa, Ketua Majelis Hakim, Nani Indrawati memutuskan sidang dilanjutkan pada Rabu (7/5/2014) pekan depan, dengan agenda pembacaan putusan sela.
Penyegar ingatan, dalam perkara ini Anggoro Widjodjo terancam pidana lima tahun penjara karena dianggap menyuap beberapa pihak untuk memuluskan anggaran 69 program Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan Departemen Kehutanan tahun 2007.
"Terdakwa memberi uang tunai sejumlah Rp 210 juta, SGD 92.000, USD 20.000 dan uang tunai Rp 925,900 juta, serta barang berupa 2 unit lift kepada pegawai negeri yaitu kepada HM Yusuf Erwin Faisal selaku Ketua Komisi IV DPR periode 2004-2009, MS Kaban selaku Menteri Kehutanan tahun 2004-2009, Boen Purnama Sekjen Departemen Kehutanan (Dephut) tahun 2005-2007," kata Jaksa Penuntut Umum (JPU) Riyono saat membacakan surat dakwaan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Rabu (23/4/2014) lalu.
Riyono memaparkan semua bermula pada bulan Januari 2007, ketika Dephut mengajukan pagu anggaran 69 program Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan senilai Rp 4,2 triliun yang didalamnya termasuk anggaran Sistem Komunikasi Radio Terpadu (SKRT) sebesar Rp 180 miliar.
Menurut Riyono, proyek SKRT tersebut pada tahun 2005 dan 2006, dikerjakan oleh PT Masaro milik terdakwa sebagai penyedia barang.
Karena itu, terdakwa disebut berkepentingan terhadap anggaran proyek tersebut. Sehingga, meminta Komisi IV DPR melalui ketuanya Yusuf Erwin Faisal membuat rekomendasi atau menyetujui rekomendasi anggaran proyek SKRT.
Atas permintaan tersebut, Yusuf Erwin meminta Muhtar untuk bertemu dengan terdakwa dan pertemuan terjadi di Kudus Bar di Hotel Sultan, Jakarta, untuk membahasa anggaran SKRT yang sedang dibahas di Komisi IV DPR.
"Terdakwa minta bantu anggaran karena program SKRT sudah berlangsung bertahun-tahun dan terdakwa menjanjikan akan berikan sejumlah uang ke Komisi IV DPR," kata Riyono.
Hingga akhirnya, terdakwa pada 26 Juli 2007, memerintahkan anaknya David Angka Widjaja untuk menyerahkan sejumlah uang kepada Yusuf Erwin Faizal karena dokumen anggaran 69 program rehabilitasi hutan dan lahan sudah dikirim ke Kementerian Keuangan.
Oleh David, lanjut Jaksa Riyono, uang diserahkan ke Tri Budi Utami di ruang Sekretariat Komisi IV DPR, atas perintah Yusus Erwin Faisal.
Kemudian, uang tersebut dibagikan Yusuf ke beberapa anggota Komisi IV DPR, di antaranya Suswono Rp 50 juta, Muhtarudin Rp 50 juta dan Nurhadi Rp 5 juta.
Untuk memuluskan persetujuan anggaran proyek tersebut, terdakwa tidak hanya memberikan sejumlah uang ke Komisi IV DPR. Melainkan juga ke Menhut saat itu, MS Kaban.
Di antaranya, pada tanggal 6 Agustus 2007 sebesar USD 15.000. Kemudian, pada 16 Agustus 2007 sebesar USD 10.000 dan pada tanggal 13 Februari 2008 sebesar USD 20.000 melalui supir Kaban yang bernama M Yusuf.
Tidak berhenti sampai di situ, Kaban ternyata terus meminta sejumlah uang kepada terdakwa. Sehingga, pada 22 Februari 2008, terdakwa kembali memberikan travel cheque kepada MS Kaban sebesar Rp 50 juta. Serta, uang sebesar SGD 40.000.
Namun, nampaknya pemberian masih berlanjut, bahwa pada tanggal 28 Maret 2008, terdakwa membeli dua unit lift berkapasitas 800 kg untuk digunakan di Menara Dakwah milik PBB atas permintaan MS Kaban.
Riyono memaparkan harga lift tersebut sebesar USD 58,58. Dengan ongkos pemasangan Rp 40 juta.
Kemudian, masih pada bulan Maret 2008, terdakwa kembali memberikan uang kepada Yusuf Erwin yang dibagikan kepada anggota Komisi IV DPR. Di antaranya Fahri USD 30.000, Azwar USD 50.000, Muhtarudin USD 30.000 dan Sujud Rp 20 juta.
Atas perbuatannya, Anggoro Widjojo dijerat dengan Pasal 5 ayat 1 huruf b UU Tipikor jo Pasal 65 ayat 1 KUHP. Dan atau Pasal 13 UU Tipikor jo Pasal 65 ayat 1 KUHP.