Politik uang dijalankan untuk merebut simpati dan dukungan para pemilih.
Jakarta - Delapan hari menjelang pemilu presiden (pilpres), 9 Juli 2014, relawan Joko Widodo-Jusuf Kalla, menemukan sejumlah model kecurangan yang harus diwaspadai. Di sejumlah kota, sejumlah kasus kecurangan bahkan telah menyeruak ke permukaan.
Selain kampanye hitam, seperti pembuatan dan penyebaran tabloid Obor Rakyat yang dibikin oleh orang Istana, Setiyardi, intimidasi dan tindak kekerasan juga sudah dilancarkan untuk menghadang laju kemenangan Jokowi-JK. "Kami sangat sadar perjalanan menuju kemenangan dalam pilpres 9 Juli nanti tidak akan mudah. Kami, para relawan, akan melawan segala tindak kecurangan," kata Sinnal Blegur, Ketua Panitia Rapat Akbar Nasional untuk Kemenangan Jokowi-JK.
Relawan, lanjut Sinnal, menengarai politik uang juga sudah dijalankan untuk merebut simpati dan dukungan para pemilih. Di beberapa kota, seperti Pemalang, bahkan ditemukan adanya kertas suara pilpres yang sudah berlubang di bagian capres nomor urut 1, Prabowo Subianto-Hatta Rajasa.
Cara-cara intimidasi dan penghalang-halangan dengan pelaku aparat kepolisian juga mulai bermunculan. Hal ini, contohnya, terjadi di Garut ketika sejumlah relawan hendak mendeklarasikan Aliansi Masyarakat Sipil untuk Indonesia Hebat (Almisbat) di Lapangan Nagrog Karangpawitan, Garut, 28 Juni lalu.
Menurut Sekjen Almisbat, Hendrik Sirait, bentuk penghalang-halangan itu mulai dari izin acara yang susah didapatkan, pelarangan pemasangan baliho dengan dalih keamanan. "Berbagai atribut Jokowi-JK juga tidak boleh dipasang di tempat strategis. Hal ini kontradiktif dengan atribut Prabowo-Hatta yang bebas dipasang di berbagai penjuru kota," kata Hendrik.
Masih di Jawa Barat, lanjut dia, aparat birokrasi seperti lurah juga terindikasi tidak netral. "Hal ini membuat warga di desa-desa menjadi khawatir untuk mengenakan atribut atau kaos bergambar Jokowi," ungkap pria yang akrab disapa Iblis ini.
Suasana, terutama di daerah-daerah pinggiran yang sulit mendapatkan akses informasi, dan wilayah dengan tingkat kemiskinan tinggi, sengaja dibuat mencekam akibat ketakutan menyusul intimidasi, teror dan ancaman yang dilakukan oleh instrumen negara terhadap mereka yang bersimpati pada pasangan Jokowi-JK. "Menurunnya elektabilitas suara Jokowi-JK sangat kuat terjadi karena diciptakan dengan pola yang sistematis," lanjut Hendrik.
Almisbat juga menerima laporan banyak terjadi pencopotan dan pengrusakan berbagai spanduk dan alat peraga capres Jokowi. Hingga saat ini, kata Hendrik, Almisbat masih mengumpulkan berbagai informasi di lapangan yang menyebutkan aparat TNI juga mulai rajin mendatangi para pemilih di desa-desa.
Melihat berbagai kecurangan yang mulai bermunculan secara sistematis, baik Sinnal Blegur maupun Hendrik Sirait, akan mengerahkan tenaga relawan sekurangnya lima orang di setiap TPS yang ada di seluruh Indonesia, pada pilpres 9 Juli nanti. (skj) (Advertorial)