TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Bisnis migas di Indonesia yang bernilai ribuan triliun, membuat siapa saja berambisi menguasai sektor migas nasional mulai dari hulu sampai ke hilir.
Pengamat ekonomi politik dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), Salamuddin Daeng mengatakan, muara dari seluruh praktek mafia dalam pengelolaan migas tersebut adalah kebocoran, korupsi dan intervensi kekuasaan, yang menyebabkan berpindahnya kekayaan rakyat ke tangan sindikat dan mafia.
"Nilai perdagangan bahan bakar minyak di Indonesia untuk kebutuhan industri, transportasi, dan rumah tangga, baik yang bersubsidi maupun tidak bersubsidi mencapai Rp286,7 triliun yang terdiri dari konsumsi premium dan solar," kata Salamuddin Daeng, Sabtu (13/9/2014).
Menurutnya, dari data-data tersebut, secara garis besar transaksi dalam migas oleh berbagai level dan pelaku industri ini sedikitnya senilai Rp 2.700 triliun. Fragmentasi dalam pengelolaan migas yang terpecah dari hulu sampai ke hilir, akan menjadi ruang bagi sindikat dan mafia.
"Sindikat dan mafia ini dilakukan oleh pemerintah dan DPR yang sebagian terlibat secara langsung dan tidak langsung dalam industri migas," kata Salamuddin.
Dirinya juga menjelaskan modus para mafia migas dalam melakukan aksinya. Mulai dari para pengambil kebijakan secara terus menerus memproduksi kebijakan dalam rangka memaksimalkan profit yang dapat diperoleh oleh sindikat dalam pengelolaan migas. Para kontraktor swasta pun akan melakukan berbagai macam upaya dalam memanipulasi produksi, dana cost recovery dalam rangka memaksimalkan penerimaan mereka.
Menurut Salamuddin, akibat lemahnya kontrol negara terhadap sektor migas, menyebabkan perusahaan-perusahaan swasta dapat dengan sangat ekslusif menjalankan bisnis mereka dan jauh dari kontrol masyarakat.
Ironisnya, aparat negara mulai dari yang berada pada institusi penyelenggara migas, hingga aparat penegak hukum justru menjadikan seluruh pelanggaran, kecurangan, manipulasi dan pelanggaran hukum yang dilakukan kontraktor dan pelaku usaha migas mulai dari hulu sampai ke hilir sebagai ajang pemerasan.
"Sementara rakyat secara terus menerus harus membayar mahal harga minyak dan gas yang terus naik. Hal itu dibayar atas hilangnya kedaualatan rakyat atas kekayaan alam dan harga atas penyerahan diri pada kekuasaan para mafia dan sindikat yang mengontrol politik dan pemerintahan," katanya.
Lebih lanjut menurut Salamuddin transaksi di hulu melibatkan 850 ribu barel minyak per hari atau senilai Rp1,6 triliun sehari atau sebesar Rp387,6 triliun setahun. Indonesia melakukan ekspor minyak senilai 455,000 bbl/d dengan nilai transaksi mencapai Rp207,5 triliun setahun. Sementara itu juga mengimpor mencapai 506,000 bbl/d dengan nilai transaksi sebesar Rp230,7 triliun setahunnya.
Sementara data BPS nilai impor minyak 2013 sebesar USD42,14 miliar atau senilai Rp501,4 triliun.
"Pertamina sendiri sebagai BUMN yang diberi hak mengelola minyak bagian negara yang diserahkan oleh kontraktor swasta dan produksi pertamina sendiri serta usaha usaha lainnya pertamina dengan pendapatan USD71,1 miliar atau sekitar Rp846,1 triliun," katanya.
Beban negara pun bertambah karena juga membiayai cost recovery untuk menggantikan seluruh biaya operasional yang dikeluarkan perusahaan minyak senilai USD16,5 miliar atau sekitar Rp 196,3 triliun.
Sementara nilai produksi gas nasional sebesar mencapai 1,517 juta barel setara minyak per hari atau senilai Rp270.6 triliun. Ditambah dengan nilai ekspor gas nasional senilai USD18,129 miliar atau mencapai Rp 220,1 triliun pada tahun 2013 dan Impor gas senilai USD3,113 miliar atau sekira Rp37,24 triliun.