TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Parahyangan, Bandung, Jawa Barat, Asep Warlan Yusuf menilai keputusan Menteri Hukum dan HAM yang mengesahkan perubahan susunan kepengurusan DPP PPP melanggar kaidah-kaidah hukum yang ada.
"Aroma kepentingan politik dalam keputusan ini sangat terasa dibandingkan proses penegakan hukum yang adil bagi semua warga negara," ujar Asep ketika dihubungi wartawan, Rabu (29/10/2014).
Asep mengatakan, keputusan ini melanggar banyak kaidah hukum. Tidak salah jika kemudian masyarakat menilai bahwa keputusan ini sangat terasa kepentingan politiknya daripada proses hukum yang berkeadilan buat seluruh warga negara. Ada kesan PDIP ingin memperkuat barisan Koalisi Indonesia Hebat dengan memainkan keputusan ini.
Prinsip hukum yang pertama dilanggar, menurut Asep adalah kesamaan di mata hukum. Menkumham yang saat ini dijabat oleh kader PDIP, Yasonna Laoly telah berpihak pada salah satu pihak yang bertikai, dalam hal ini kepada kubu Romahurmuziy yang semua orang tahu ingin membawa PPP ke Koalisi Merah Putih yang dipimpin oleh PDIP.
Sementara kubu lainnya dirugikan dan tidak disamakan tempatnya di muka hukum. Menkumham seperti ingin memberikan kedudukan hukum kepada Romy diatas kubu Suryadharma Ali.
“Memang kalau ada perubahan AD/ART wajib didaftarkan dan disahkan dalam jangka waktu tertentu sesuai UU no 2 tahun 2011 tentang parpol. Tapi proses itu hanya bisa dilakukan kalau memang tidak ada masalah dengan partai politik yang bersangkutan. Jika menkumham hanya memproses surat permohonan dari kubu Romy sementara dia tahu ada permasalahan di PPP yang belum selesai, maka ini sama saja menkumham sudah berpihak pada Romy. Jadi tidak ada kesamaan seluruh warga negara dimuka hukum,” tegasnya.
Seharusnya dalam kondisi seperti ini, Menkumham menurutnya tidak boleh serta merta memproses permohonan dari kubu Romy saja, karena dengan memproses langsung seperti ini, maka pihak SDA akan tertutup kemungkinannya untuk mendaftarkan.
"Menkumham seharusnya mengumumkan dulu proses pendaftaran yang diajukan kubu Romy, jika tidak ada yang keberatan, maka proses pendaftaran bisa dilaksanakan," ujar Asep.
Asep meminta kepada Presiden Jokowi untuk segera menegur pembantunya tersebut. Jokowi harus memerintahkan pembantunya itu untuk membatalkan keputusannya karena jika tidak akan banyak dampak yang bisa terjadi yang bisa mengacaukan sistem hukum yang ada.
”Kemenkumham tidak berhak mengurus rumah tangga orang. Seperti pendaftaran PT, kemenkumham hanya bertugas mengesahkan saja bukan memutuskan,” ujarnya.
Jika Presiden Jokowi tidak melaksanakan hal itu, maka menurutnya DPR bisa saja menggunakan hak interpelasi atau hak menjawab terkait kebijakan-kebijakan yang diambil presiden karena bagaimana pun menteri bertindak atas nama presiden.