TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pengamat menegaskan perlunya rekonsiliasi antara dua kekuatan politik di DPR, yakni fraksi kubu Koalisi Indonesia Hebat (KIH) dengan kubu Koalisi Merah Putih (KMP).
"Persepsi publik kini mengarah ke dua hal atas DPR RI ini. Pertama, harus rekonsiliasi. Kedua, DPR harus segera kerja, kerja dan kerja," ujar Direktur Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Ronald Rofiandri dalam diskusi di Warung Daun, Cikini, Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (1/11/2014).
Bentuk rekonsiliasi tersebut, lanjut Ronald, dapat dimulai dengan perubahan aturan main dalam pemilihan pimpinan komisi dan alat kelengkapan DPR, yakni dengan merevisi Undang-Undang MPR, DPR, DPRD dan DPD (MD3) hingga Tata Tertib.
Selanjutnya, proses pemilihan pimpinan komisi dan alat kelengkapan DPR dilakukan dengan proses yang demokratis sekaligus memberi ruang kekuatan-kekuatan politik yang ada di parlemen.
"Jika dua langkah bentuk rekonsiliasi itu tidak dilakukan, konflik akan berkepanjangan," ujar Ronald.
Menurut Ronald, jika konflik tidak segera diselesaikan, dampak negatifnya bakal lebih terasa. Misalnya, dapat mengganggu fungsi struktur pemerintah, mengganggu komunikasi antara parlemen dengan lembaga tinggi negara dan lainnya.
Ia menambahkan, dalam situasi inilah komitmen elite politik di parlemen untuk menjaga demokrasi diuji. Kedua kekuatan politik harus menanggalkan kepentingan masing-masing agar program pemerintahan dapat berjalan.
Fraksi kubu KIH menolak kepemimpinan DPR yang dikuasai fraksi kubu KMP. Mereka lalu membentuk jajaran pimpinan DPR tandingan dan akan dilanjutkan pemilihan pimpinan alat kelengkapan DPR. Mereka mendesak agar kursi pimpinan alat kelengkapan DPR dibagi secara proporsional.