TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Penetapan Djan Faridz sebagai ketua umum PPP dalam Muktamar VIII Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang digelar Suryadharma Ali (SDA) berbuntut panjang karena cacat hukum. Politikus PPP Ahmad Yani menilai penetapan Djan Faridz sebagai ketua umum cacat prosedural.
Menurut dia, dalam AD/ART pasal 23 ayat 2 disebutkan bahwa seluruh persidangan muktamar dipimpin pengurus harian. Faktanya, sidang penetapan Djan Faridz dipimpin oleh Habil Marati yang bukan pengurus harian.
“Habil Marati itu hanya Ketua Lembaga Kewirausahaan bukan Pengurush Harian,” kata Yani kepada wartawan, Minggu (2/11/2014).
Dia mengungkapkan, Habil Marati memang pernah ditunjuk sebagai pengurus harian versi reshufle SDA. Namun, hal itu sudah dibatalkan oleh Mahkamah Partai. “Pak SDA menerima putusan Mahkamah Partai, yang juga membatalkan
reshuflle. Artinya, Habil Marati bukan PH dan itu tidak sah memimpin sidang,” tutur Yani.
Cacat hukum yang kedua, peserta yang hadir saat penetapan Djan Faridz tidak diverifikasi, sehingga tidak bisa dipastikan apakah mereka peserta asli atau peserta liar. Karena itulah, Yani memastikan penetapan Djan Faridz tidak kuorum. “Semuanya boleh masuk, bahkan banyak peserta liar yang hadir di ruangan,” tutur mantan anggota Komisi III DPR ini.
Penetapan Djan Faridz berdasarkan aspirasi regional bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi, karena suara-suara DPC diabaikan. Menurut dia, penetapan secara aklamasi bisa dilakukan apabila tidak ada calon lain. “Faktanya banyak DPC mendukung saya, tapi diabaikan. Muktamar Jakarta ini kualitas dan produknya sangat jauh di bawah Muktamar Surabaya. Muktamar Jakarta sangat-sangat buruk sekali,” tandasnya.