TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - M. Imam Nasef, Peneliti pada Divisi Kajian Hukum Tatanegara Sigma, menilai keliru sikap Menteri Hukum dan HAM, Yasonna H Laoly, terhadap polemik dualisme kepemimpinan Partai Golkar.
Bahkan, menurut dia, dengan tidak memberikan Keputusan mengenai perubahan susunan kepengurusan Partai Golkar yang sah, mengindikasikan Menkumham kurang memahami UU No 2/2008 sebagaimana telah diubah dengan UU No 2/2011 tentang Partai Politik (UU Parpol).
"Pernyataan Menkumham yang meminta Golkar menyelesaikan konflik internalnya terlebih dahulu sesuai dengan ketentuan Pasal 24 UU Parpol adalah keliru sebab konflik internal Golkar tidak termasuk kategori perselisihan kepengurusan parpol sebagaimana diatur dalam Pasal 24 UU Parpol," tegas Nasef kepada Tribunnews.com, Jakarta, Selasa (16/12/2014).
Dijelaskan, yang termasuk kategori perselisihan kepengurusan parpol menurut ketentuan Pasal 24 dan 25 UU Parpol adalah yang memenuhi 4 unsur berikut ini secara komulatif. Pertama, wujud perselisihan berupa adanya penolakan untuk mengganti kepengurusan.
Kedua, penolakan pergantian kepengurusan itu harus disampaikan secara resmi dalam Munas. Ketiga, subyek yang mengajukan penolakan itu harus anggota parpol yang menjadi peserta munas. Keempat, penolakan pergantian kepengurusan harus datang dari minimal 2/3 peserta munas.
Bila melihat hal itu, maka Empat unsur itu tidak terpenuhi pada kasus Golkar. terbukti pada saat Munas di Bali tidak ada penolakan dari 2/3 peserta Munas. Oleh karena itu, pelaksanaan Munas di Bali sama sekali tidak menimbulkan perselisihan kepengurusan partai Golkar.
"Berdasarkan hal itu, secara yuridis apa yang seharusnya dilakukan Menkumham dalam menyikapi kasus Golkar sudah sangat terang benerang. Menkumham tidak bisa 'mangkir' dari kewenangannya untuk mengeluarkan Surat Keputusan (SK) mengenai pengesahan perubahan kepengurusan parpol yang dihasilkan dari suatu munas yang tidak terdapat perselisihan kepengurusan di dalamnya," ujarnya.
Mangkirnya Menkumham untuk melaksanakan kewenangannya, kata dia, justru mengindikasikan adanya upaya politisasi terhadap kasus Golkar itu. "Sebagai institusi negara sebaiknya Menkumham menjauhkan diri dari unsur politis, segala sikap tindaknya harus berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku," sarannya.