TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pemerintahan Jokowi-JK dinilai tidak mempunyai blue print tentang daftar program legislasi nasional. Selain itu penunjukkan pejabat di bidang hukum tidak memiliki kompetensi dan kontribusi yang memadai.
Semua penunjukan pejabat di bidang hukum (Menkum dan HAM, Jaksa Agung, Kapolri), sangat kental bernuansa 'imbalan' atas dukungan politik yang diterima Jokowi saat pencalonannya sebagai presiden.
"Presiden tidak konsisten dengan janjinya karena saat pemilihan kabinet, ia melibatkan KPK dan PPATK. Namun saat memilih Jaksa Agung dan Kapolri, justru mengabaikan masukan dari KPK serta PPATK. Ini justru menimbulkan kecurigaan bahwa proses pencalonan memang sarat KKN dan politik balas budi," kata Melli Darsa, Ketua Umum Iluni FHUI pada keterangan pers "100 hari Pemerintahan Jokowi-JK" di Jakarta, Minggu (25/1). Melli Darsa juga didampingi Pakar Hukum Pidana Ganjar Laksamana dan lainnya.
Ikatan Alumni Fakultas Hukum Universitas Indonesia (ILUNI FHUI) minta presiden Jokowi tidak melantik Komjen Budi Gunawan sebagai Kapolri. Juga mempertimbangkan penggantian pejabat negara di bidang hukum yang telah ditunjuk atau dicalonkan dengan pihak-pihak yang lebih bersih, profesional dan kompeten.
Menurut ILUNI FHUI, Presiden Jokowi harus segera melepaskan diri dari belenggu politik yang mendistorsi hak-haknya dalam mengangkat pejabat negara di bidang hukum.
"Presiden Jokowi agar segera menyusun program pembangunan hukum nasional dan legislasi nasional memasukkan agenda sistem penegakan hukum dan HAM melalui KUHP-KUHAP serta pemberantasan korupsi," kata Melli Darsa.
ILUNI FHUI berharap Presiden Jokowi membuka ruang partisipasi publik secara luas serta melibatkan KPK dan PPATK dalam pengambilan kebijakan-kebijakannya untuk menghindari potensi pelanggaran hukum dan korupsi.